Lihat ke Halaman Asli

Rizqi Nurdianto

Buruh Harian Lepas Di Perusahaan Milik Negara

Friday, Mayday!

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi tidak sengaja melihat dua bocah kecil bekerja menaikan bahan bangunan keatas truck yang terparkir, hati saya bertanya “kenapa anak sekecil itu bekerja kasar layaknya pria dewasa?”, lalu beberapa saat kemudian ada bapak-bapak yang mendampingi kedua anak tersebut, dari gerak tubuh dan fisik sepertinya lelaki tua tersebut adalah bapak dari kedua anak itu.

Bertepatan dengan hari buruh yang jatuh pada hari ini, saya jadi gatel untuk menuliskan apa yang ada dipikiran saya, Buruh??siapakah kalian?? Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama, yang membedakan adalah paradigma sosial yang seakan menghakimi bahwa buruh itu merupakan pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Namun memang pada dasarnya istilah buruh sendiri dibagi menjadi dua, yaitu Buruh profesional ,biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja dan Buruh kasar ,biasa disebut buruh kerah biru,menggunakan tenaga otot dalam bekerja. Toh, merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan istilah buruh atau apapun itu hanya memiliki satu arti yaitu manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau Pengusaha atau majikan.

Melihat pengertian diatas,menurut saya istilah buruh professional maupun buruh kasar tidak ada bedanya, sama-sama memperkerjakan dirinya demi suatu imbalan, sehingga tidak memecah belah dan menciptakan GAP diantara kelas pekerja. Balik lagi mengenai hari buruh, memang terciptanya istilah mayday atau hari buruh sedunia ini melewati proses yang panjang dan tidak mudah, selalu saja ada benturan antara kelas pekerja dengan pemberi kerja/pengusaha/majikan, karena memang mereka memiliki kepentingan yang jelas berbeda. Maka dari itulah pemerintah sebagai jalan tengah yang memfasilitasi perbedaan tersebut menciptakan suatu rules yang baik, seperti adanya undang-undang tenaga kerja dan produk-produk hukum lainnya. Permasalahanya tidak sampai disitu, regulasi pemerintah dalam menengahi perbedaan kepentingan tersebut apakah sudah adil atau equal terhadap kedua belah pihak??pemerintah ada dipihak mana??itu yang selalu didengung-dengungkan kaum buruh atas nasib yang mereka alami,karena memang hanya pemerintahlah yang bisa memfasilitasi aspirasi mereka.

Saya tidak akan mengkritisi  payung hukum yang mengatur permasalah tersebut, karena selain saya kurang berkompeten dan nanti hasil kritikan sayapun pasti subyektif,karena memang saya ada diposisi sebagai kelas pekerja. Yang mau saya bicarakan disini bukan esensi pasal-pasal hukum yang mengaturnya, namun lebih kepengawasan dan penerapan pasal tersebut, tidak dipungkiri masih banyak aturan perusahaan atau aturan pekerjaan yang kadang tidak sesuai atau melanggar undang-undang ketenaga kerjaan maupun undang-undang lain, seperti aturan mengenai upah minimum,jumlah jam kerja yang tidak melebihi 40 jam dalam seminggu, batasan lamanya lembur 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi, kompensasi lembur, batas usia minimal pekerja,jaminan sosial pekerja dan banyak lagi. Namun terkadang ada pengecualian-pengecualian tertentu yang membolehkan perusahaan mengindahkan aturan tersebut, itupun juga harus sesuai dengan kesepakatan kerja diawal. Ingat,kesepakatan/perjanjian kerja diawal, bukan dengan seenaknya melanggar aturan tersebut dengan sewaktu-waktu memforsir batasan kemampuan pekerja dengan alasan tertentu dengan tidak adanya kompensasi. Sudah baguskah pengawasan yang telah dilakukan pemerintah??langkah-langkah konkrit apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menindak tegas perusahaan nakal??Memang perekonomian Indonesia masih dalam fase berkembang, dimana dilemma-dilema sosial selalu menghantui kehidupan masyarakatnya, disisi lain sedikitnya lahan pekerjaan memaksa kaum pekerja untuk tidak memiliki pilihan, dan peluang ini sangat disambut baik oleh kaum-kaum kapitalis untuk memanfaatkannya, tenaga kerja murah, bahan baku murah, dan pasar yang besar, serta regulasi pemerintah yang bisa ‘dibeli’ demi kepentingan tertentu, lengkap sudah penderitaan bangsa ini.

Apabila mayday hanya menjadi ceremonial belaka dan pemerintah tak berbuat apa-apa, saatnya merubah nasib kita sendiri, berani berdiri dikaki sendiri, saatnya mandiri, saatnya mengekplorasi kemampuan diri, saatnya menjadi bos bagi kita sendiri, dimulai dari hal yang kecil, sebagai contoh 9 dari 10 pintu rejeki adalah berdagang ataupun berbisnis, kita bisa mencontoh korea yang penghasilan negaranya terbesar dari bisnis kreatif. Insyallah, kelak saya pun menuju kesana, karena tua menjadi pekerja itu bukan suatu cita-cita. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline