Globalisasi menjadi isu yang kontroversial dalam kehidupan ekonomi politik internasional. Selain itu juga globalisasi juga menghancurkan berbagai tatanan yang ada pada ekonomi politik internasional. Masalah yang muncul pada era globalisasi ini tidak hanya menjadi semakin kompleks tetapi bahkan melampau transnasional. Sehingga menyebabkan berbagai dampak yang tidak bisa dihindari bagi seluruh manusia di dunia.
Globalisasi ini telah memicu munculnya sebuah kesenjangan besar dalam kehidupan ekonomi politik internasional. Tidak hanya itu, era globalisasi ini juga telah memunculkan sebuah pola hubungan baru yang dimana entitas sebuah negara tidak lagi menjadi otonom yang berkuasa penuh atas wilayah teritorialnya. Yang dimana hal ini dapat dikatakan bahwa negara sudah tidak menjadi satu-satunya entitas politik yang memegang kedaulatan. Akan tetapi, telah mewujudkan hubungan yang saling bergantung dan saling hubungan antara negara-bangsa serta para pelaku transnasional. Yang dimana hal tersebut telah terintegrasi secara internasional.
Adanya keadaan tersebut akhirnya melahikan sebuah fenomena baru yaitu dimana menguatnya aktor-aktor non-state sebagai pusat kekuasaan baru dalam interaksinya dalam hubungan internasional. Fenomena berikutnya adalah permasalahan[1]permasalahan baru yang muncul tidak mungkin diselesaikan oleh masing-masing negara nasional sendirian, melainkan diselesaikan bersama-sama sebagai komunitas warga dunia. Keadaan semacam inilah yang kemudian memunculkan gagasan global governance.
Global governance bisa berbentuk formal yang dimana memiliki perangkat hukum serta institusi untuk mengatur beragam aktor internasional seperti IMF dan Bank Dunia, maupun berbentuk informal dalam bentuk yang temporal, seperti institusi yang membahas isu lingkungan, AIDS, dan lain-lain. Meskipun hal ini ditujukan sebagai upaya penyelesaian masalah, global governance semacam IMF dan Bank Dunia masih menyisakan berbagai kontroversial terkait peran mereka dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Yang dimana dalam konteks Global Governance, IMF dan Bank Dunia belum mampu menciptakan kesetaraan. Terutama dalam membantu negara-negara yang g terkait krisis, dengan mengambil alih komando manajemen perekonomian negara penerima bantuan. "Setelah krisis Asia pada tahun 1997, kebijakan[1]kebijakan IMF malah memperburuk krisis di Indonesia dan Thailand.
David Cox mendefinisikan beberapa dimensi kemiskinan, salah satunya ialah kemiskinan yang disebabkan oleh globalisasi. Penyebab kemiskinan akibat globalisasi dunia adalah Structural Adjustment Program (SAPs) yang didesakkan IMF pada Bank Dunia. SAPs ini bersandar pada ideologi neoliberal sehingga hegemoni neoliberallah pada dasarnya menjadi faktor utama mengapa kesenjangan global meningkat tajam dan angka kemiskinan sangat besar.
Ada dua sebab faham neoliberalis ini dianggap sebagai penyebab kemiskinan, pertama, basis ideologi neoliberal adalah kompetisi. Sementara kompetisi hanya akan berlangsung secara adil jika masing-masing partisipan mempunyai kapasitas atau kekuatan yang kurang lebih sama. Dalam pasar neoliberal, semua harus bersaing dalam medan yang sama, tidak peduli apakah industri baru tumbuh ataukah mereka sudah kuat. Hal ini berakibat keuntungan hanya akan didapatkan oleh pemain yang kuat.
Sedangkan sebab kedua ialah pembelaan atas pasar telah membuat peran negara dalam pembangunan menjadi termarginalkan. Hal ini terjadi karena paham neoliberal pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai, "agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo economicus dalam diri manusia, sehingga pada prakteknya terjadi dominasi sektor finansial atas sektor riil dan tata ekonomi politik."
Konsekuensi pada paham tersebut dapat membuat suatu negara tidak diijinkan campur tangan dalam perekonomian karena pasarlah satu-satunya mekanisme paling baik dalam mendorong produksi, distribusi dan konsumsi. Singkatnya pasarlah mekanisme paling efektif yang bisa diandalkan untuk mendistribusikan sumber-sumber ekonomi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh paham neoliberalism secara jelas membangkrutkan banyak usaha kecil dan menengah di Negara-negara berkembang yang berujung pada pengangguran. Sementara hilangnya perusahaan-perusahaan kecil kemudian diikuti semakin membesarnya perusahaan-perusahaan asing yang menjadi kompetitor. Kondisi semacam ini diperburuk dengan bagaimana Negara-negara berkembang secara sistematis memangkas kesejahteraan buruh demi mengundang investasi. Buruh murah selalu digunakan sebagai keunggulan kompetitif dalam menarik investasi asing.
Padahal seharusnya sebagai sebuah lembaga harus meciptakan regulasi yang dapat mengontrol perilaku menyimpang yang diatur dalam struktur ekonomi politik internasional. Akan tetapi, negara berkembang malah justru tergerus dalam paham atau ideologi agenda neliberalism.
Menurut Francis Fukuyama, negara dengan fungsi kelembagaannya dapat menjadi salah satu alternative pemberantasan kemiskinan. Tantangannya adalah menciptakan Negara dengan birokrasi yang efektif. Padahal kenyataannya, pada Negara-negara berkembang sistem birokrasinya seringkali korup dan tidak efektif. Selain itu birokrasi yang korup akan menciptakan birokrasi yang membuka peluang bagi penguasaan asing secara lebih luas.