PAGI UNTUK DENI
Ini hari yang istimewa untuk Deni. Hari ini, usai sudah segala penantian panjangnya: dia akan mulai bekerja. Ya, ini adalah pagi yang berbeda karena satu cabang toko waralaba sedang menunggu kedatangannya. Harus tepat jam delapan.
Deni, tentu saja, tak ingin memberi kesan buruk di hari pertama bekerja. Walaupun toko itu terletak begitu jauh dari rumahnya, Deni akan tetap berangkat tepat waktu. Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan langkahnya pagi itu, bahkan kemacetan lalu-lintas yang menggila di sepanjang jalan.
Setelah meminum habis segelas kopi yang dia buat subuh tadi, Deni bergegas menyalakan sepeda motornya, dan melesat kencang ke arah stasiun. Deni tidak mau konyol menunggu macet lautan mobil di jalan dengan menumpang bis. Dia sangat yakin pasti terlambat sampai di toko jika menumpang bis patas atau berkendara sepeda motor. Jadi, seperti rencana awalnya, dia memutuskan untuk naik kereta pagi ini, walaupun penuh sesak tapi kereta hanya melintas mulus di rel, tidak berbagi jalan dengan kendaraan lainnya.
Hanya lima menit waktu yang dia butuhkan untuk sampai di stasiun. Rumahnya berada di kawasan pinggir rel, jadi dia hanya harus menyusuri gang sempit di pinggiran rel untuk sampai ke sana. Setelah menitipkan motor di rumah Abah Onki, Deni membeli tiket ekonomi dan masuk ke jalur 2. Kursi panjang menerima tubuhnya yang letih terduduk di atasnya.
Deni memperhatikan pakaiannya. Sejak berangkat jam setengah lima tadi, kemeja dan celana panjang hitamnya tampak cukup elegan dan rapi. Tapi, lihatlah kini: kusut dan berkerut di mana-mana. Deni berdiri sejenak dan membetulkan pakaiannya segera.
“Geser, Pak…”, sedikit kaget, bapak berkumis yang duduk di sebelah, berpindah duduk di tempat Deni tadi. Permintaan seorang ibu di sebelahnya diturutinya spontan, tanpa mengacuhkan Deni yang mau duduk kembali.
“maaf, Dik…”
“eh, i,iya..”, kecewa, Deni berbalik dan berjalan menjauh dari kursi panjang. Mata ibu tadi seperti menyiratkan tatapan awas pada Deni, segan. Deni menghela nafas panjang menahan percikan amarah di dada. Beruntung, kereta yang ditunggu, akhirnya tiba.
Bagaikan drama basi yang selalu rutin diulang, penumpang kelas ekonomi pada jam sibuk memang sangat memuakkan. Sesak berdesak-desakan; mengincar kursi kosong di dalam gerbong; menjaga tas di pelukan agar tidak berpindah tangan; berdiri konyol di pinggir pintu masuk; bahkan sampai naik ke atas gerbong, tanpa peduli keselamatan diri sendiri. Deni jadi teringat berita yang dia lihat seminggu lalu di tv: seorang pemuda terpeleset jatuh tepat di saat keretanya mulai melesat menjauh dari stasiun. Deni ingin juga kejadian itu terulang lagi di sini sekarang, agar hal itu jadi pelajaran berharga bagi orang-orang di atas gerbong itu. Itulah, senang melihat orang lain susah; “penyakit” umum penduduk kota urban, termasuk Deni.
Rupanya salah, kejadian itu tidak terulang di sini. Kereta kelas ekonomi itu mulai bergetar dan bergerak, tanpa melempar keluar manusia-manusia di dalamnya. Deni mendapat jatah kursi, hasil dari kesabarannya menunggu di jalur 2 awal pagi. Dia terduduk tenang sambil memandang jauh keluar jendela dan menjaga tas hitamnya tetap di pangkuan.
Deni melirik jam tangannya. “Sudah sepuluh menit berlalu”, pikirnya. Apakah dia bisa sampai tepat jam delapan di toko itu, atau bahkan bisa kurang dari jam delapan. Deni berharap persiapan pagi yang baik selalu menghasilkan keseharian yang menyenangkan. Tanpa ada bencana atau sesuatu buruk yang datang tiba-tiba. Setidaknya, janganlah terjadi hari ini.
Tak jauh dari tempatnya duduk, Deni melihat seorang anak muda berrambut rapi. “Oh, dia pelajar SMA”, pikirnya. Dan di sebelah pinggir batas perpindahan gerbong, tiga orang anak muda berseragam SMA, berdiri mengobrol satu sama lain. Mereka bertiga tampak semrawut-berantakan—jauh berbeda penampilannya dengan anak muda yang pertama tadi, untuk ukuran anak sekolah. Bahkan seorang diantaranya menjepitkan sebatang rokok menyala di sela jarinya, dan dengan seenaknya menghembuskan asap nikotin itu ke penjuru gerbong penuh sesak ini. Seorang wanita tua segera menutup hidungnya dengan saputangan.
“kurang-ajar betul, anak itu!”, gumam Deni.
Gerbong kereta tempat Deni duduk semakin lenggang. Beberapa orang berpindah ke gerbong sebelah. Mungkin orang-orang yang pindah gerbong itu cukup terganggu dengan ketiga anak muda berantakan itu. Eh, sialnya, datang teman-teman anak-anak muda itu dari gerbong sebelah kiri. Tepat di pintu masuk gerbong, mereka yang tadi berdiri cukup tenang, kini mendesak penumpang lain untuk minggir, memberi ruang bagi kelompok mereka. Kepulan asap rokok menjadi semakin pekat, melayang di sekitar anak-anak berseragam SMA itu.
Deni menghela nafas panjang. Dia mau tak peduli dengan adegan memalukan anak sekolahan ini. Deni melayangkan pandangan keluar jendela, lalu berusaha menutup kedua matanya, namun tak bisa. Akhirnya dia pasrah mengamati semua manusia di depannya ini dengan tanpa kepentingan.
Pengamatan Deni semakin menarik. Seorang Pak Tua yang duduk tepat di samping anak SMA berrambut rapi, sedang menatap tajam para anak sekolahan itu. Mungkin dia sedang melihat masa lalu. Deni menyadari rasa kesal orang tua itu, dan segera meng-amininya di dalam hati. Maklum, orang tua pasti pernah mengalami masa muda yang begitu berarti bagi dirinya. Deni tak tahu apakah masa muda Pak Tua ini sama seperti para anak sekolahan di dekat pintu gerbong itu, atau tidak. Dan Deni tidak peduli.
Pengamatan diam-diam Deni berhenti saat seorang wanita muda di sebelahnya menyikut pelan tubuhnya.
“mas, eh, mas, lihat deh…”, bisiknya pelan.
“apa?”
“itu”, wanita itu menunjuk samar-samar ke arah anak-anak sekolah di dekat pintu gerbong. “mereka bawa pisau! Senjata tajam!”
“hah?”, Deni mencoba menarik pandangan lurus sesuai jari telunjuk wanita itu. Dan benar! Sekilas tampak seorang dari kumpulan anak-anak sekolahan itu membawa pisau lipat besar di balik tasnya yang tersingkap. Deni kaget.
“sudah, mbak… biarin aja…toh mereka jauh dari sini…”
“iya, tapi ‘kan, masa’ anak sekolahan bawa benda kayak begituan?”, wanita muda itu tanpa sadar memegang erat tangan Deni. Deni sumringah.
“sudah, mbak… kalo mereka ngapa-ngapain mbak, saya nggak bakal tinggal diam…”, Deni tersenyum ke wanita muda itu, dan dia semakin mendekat duduknya di samping Deni, masih menggenggam erat lengan Deni.
Sepuluh menit berlalu sejak Deni terakhir melihat jam tangannya. Deni mulai menenangkan wanita muda di sampingnya itu dengan berkenalan dan mengobrol ringan. Wanita itu tampaknya cepat akrab dan suka dengan cara Deni bercerita. Deni mendapat kenalan baru pagi ini.
Sebentuk suara perlahan terdengar dari arah Pak Tua yang duduk di depan Deni.
“pak, tolong saya pak…”, bisik anak muda berrambut rapi.
“eh”, suara Pak Tua itu berat. “ada apa, dik?”
“itu pak… saya, tolong sembunyiin saya… saya dari SMA lawan dari sekolah mereka-mereka itu…”, anak muda itu menunjuk ke kumpulan anak-anak muda di pinggir gerbong. “waktu tawuran minggu lalu, ada anak dari SMA mereka yang tewas. Kalau mereka sampai tahu tanda seragam saya, saya pasti bisa dikeroyok, pak…”, lirih anak itu.
“sudah, kamu tenang saja, duduk baik-baik di sini. Kamu pura-puranya cucu saya saja…”
“baik pak, terima kasih…”
Kereta kelas ekonomi itu meluncur mulus melewati pemukiman kumuh pinggiran rel. Jarum jam di arloji Deni semakin berlalu. Tiba-tiba, salah seorang anak dari kumpulan semrawut itu, mendekat ke arah Pak Tua.
“hei! Kamu dari SMK Jogobo ya!!! Hayo ngaku!”, dia menarik paksa kerah baju anak berrambut rapi itu. Deni melihat, Pak Tua di samping anak itu memegang erat lengan anak itu—berusaha melindunginya. Sementara para penumpang di gerbong ini mulai panik dan rame-rame pindah ke gerbong sebelah. Praktis, di sini hanya tinggal Deni, wanita muda, dan sedikit orang yang menyaksikan “drama” itu.
“bang, bang, sa, saya nggak ikut tawuran kemaren, bang… plis bang, saya nggak terlibat…”
“bohong lu!!!”, teriak salah seorang dari mereka. “tinggi juga nyali lu, berani nunjukin muka di depan anak-anak Tepana!”
“heh! Temen kami tewas gara-gara bocah-bocah lu pada main bacok waktu itu, tahu lu!? Sekarang, lu rasain pembalasan dari anak Tepana!”, seorang dari mereka, yang bertubuh paling sangar, mengangkat paksa badan anak itu dan menariknya ke arah pintu keluar. Sementara kereta ini melaju kencang, dan angin yang masuk, menyapu keras wajah semua penumpang di gerbong ini. Mata kami semua, kami sipitkan.
“jangan…!”, Pak Tua itu coba menolong anak muda itu. Segera, seorang dari mereka memukul wajah Pak Tua itu dan seketika beliau pingsan. Sementara keenam yang lainnya, menodongkan senjata tajam ke arah semua penumpang.
“kalau lu semua berani macem-macem, nih akibatnya!”
“hayo! Sini lu!”, baju seragam anak itu dibuka paksa, dan kepala anak malang itu disembulkan keluar pintu kereta. “ini sebagai tanda, SMA Tepana mampusin anak SMA Jogobo! SMA pembunuh!!!”, teriak Si Badan Sangar, yang ditingkah keenam temannya. “hoaaa!!! Mampus lu, Jogobo!!!”
Anak SMA yang telah dilucuti bajunya itu menangis, ketujuh anak muda itu siap mengantarnya ke alam akhirat yang jauh. Deni cepat memperhatikan: hanya dia laki-laki dewasa di gerbong ini. Dia harus berbuat sesuatu.
“HOI!”, teriak Deni, lalu berdiri merenggut tas hitamnya. Wanita muda yang duduk di sebelahnya kaget, dan berusaha menahan Deni untuk duduk diam. Ketujuh anak muda itu pun terkejut.
“…mas Deni!”, lirih wanita muda itu.
“ kalo lu semua berani buang tuh anak keluar kereta, lu sama kayak pembunuh! Lu sama aja kayak kriminal tawuran itu!”, Deni mendekat, waspada.
“diem lu! Lu nggak tahu apa-apa! Jangan ikut campur! Ini bales dendam kami! Kami nggak akan pernah maafin mereka! Mereka mesti ngerasain yang kami alami!!!”, balas si paling pendek dari ketujuh anak-anak muda itu, sambil menghunuskan pisau lipatnya. Deni gentar.
“tapi”, Deni perlahan mengambil langkah mendekat, “ini bukan cara nyelesaiin masalah. Dan gue yakin, bukan dia yang membunuh temen lu itu…”
“gue nggak peduli: mau dia kek yang ngebunuh, atau bukan. Gue nggak peduli! Yang penting ini urusan nyawa! Nyawa dibales nyawa…!”, si paling hitam dari mereka malah menjambak rambut anak muda itu, sebilah celurit kecil digenggam tangan kiri-hitamnya.
“udah! Duduk lu! kalo nggak mau berakhir kayak gini!”
Deni terdiam. Wanita muda teman barunya itu mendekat dan menggenggam tangan Deni, isyarat untuk mengajaknya duduk menjauh. Namun Deni menepis pelan tangan putih wanita itu. Dia hanya memandang Deni cemas.
Deni memejamkan sekejap matanya, berusaha mencari akal.
“aa,ampun, bang… saya nggak bersalah…”
“bang, sa, saya nggak kenal ama anak-anak yang tawuran kemaren..”
“bang…” Anak malang itu memeluk erat kaki Si Paling Sangar, ‘bang, saya nggak mau mati, bang… bang, saya nggak ikut-ikutan waktu tawuran kemarin.. bang…”
“Sialan, lu! lepasin!!!”, Si Paling Sangar memberi aba-aba untuk melempar tubuh anak itu keluar kereta. Angin yang deras masuk lewat kereta yang kencang melaju itu, menambah tegang suasana.
Deni menemukan akal.
Deni ingat, tas hitamnya cukup berat untuk dia gunakan memukul wajah anak-anak jahat itu. Segera dia raih tas hitamnya, dan memukul sekali-kena, keenam wajah anak-anak Tepana itu. Si Paling Sangar kaget, tak menyangka keenam temannya dengan mudah di jatuhkan Deni tiba-tiba.
“dasar bocah nggak berguna!!!”
Tapi Si Sangar kalah cepat, Deni seketika menendang “itu”-nya dan membuat dia meringis kesakitan. Dengan sangat cepat, Deni menarik mundur anak malang itu, mendorongnya ke pojok gerbong. Si wanita muda segera mendekat dan menenangkan tangisnya.
“keparaaat!!!”, teriak Si Paling Sangar, memegang “itu”-nya. Keenam temannya mencoba berdiri, seketika itu juga, Deni menendang semua senjata tajam anak-anak muda itu ke luar pintu kereta. Mereka bertambah marah.
Deni menatap mata ketujuh anak muda itu, mereka terlihat seperti mau menelan Deni hidup-hidup. Deni tiba-tiba ciut. Dia berdiri pasrah. Kepasrahan berarti maut bagi dirinya. Deni dikeroyok.
Beruntung, para penumpang di gerbong ini segera memanggil petugas di gerbong sebelah. Tiga orang petugas gegas berlari, dan mengamankan semua anak-anak muda berandal itu. Mereka dengan mudah membekuk dan menjauhkan Deni darinya. Ketujuh anak sekolahan itu dibawa ke gerbong pertama untuk diinterogasi, dan selanjutnya sampai di stasiun nanti, di-kantor-polisikan. Deni lelah dan lega. Wanita muda temannya mendekat dan menuntun Deni duduk di kursi, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“kamu nggak apa-apa, mas?”, wanita muda itu seperti mau menangis.
“I, iya…”, lirih, Deni meringis, “a, apa anak tadi ti, tidak apa-apa…?”
“iya…”, akhirnya wanita muda itu menangis, namun dia tersenyum saat berkata: “kamu hebat, mas…” Deni seperti tersengat listrik yang malah menguatkan tubuhnya, saat wanita muda itu memeluknya.
Para penumpang ramai berdiri melingkar mencoba membantu tubuh Deni untuk berjalan keluar kereta saat kereta sampai, berhenti di stasiun. Anak muda yang ditolongnya juga ikut dibantu sebagian penumpang dan petugas stasiun. Deni dibawa ke poliklinik terdekat oleh mereka. Wanita muda itu ikut juga mengantar. Deni dirawat sebentar selama beberapa jam.
***
Deni melirik arloji di tangannya: “ah! gawat! Jam 1!!!”
Deni mau bangkit dari tempat tidur, namun tak bisa, “masih sakit”, lirihnya. Dia akhirnya pasrah. Hari pertamanya bekerja di toko waralaba berakhir sudah. Pemilik toko itu pasti marah dan kecewa sekali dengan keterlambatannya ini. Dan pasti dia tak akan bisa menerima: terlambat 5 jam di hari pertama.
Namun, seperti yang dia yakini: “persiapan pagi yang baik selalu menghasilkan keseharian yang menyenangkan”, wanita muda yang dia temui di kereta pagi ini, memberikan nomor handphone-nya sebelum pamit pulang. “mungkin… kita bisa bertemu lagi…”, katanya sambil tersenyum pelan saat mengucapkan salam kepada Deni.“Ah, tak apalah pekerjaan baruku sebagai kasir lepas, yang penting sekarang, aku mendapat ‘teman’ baru”, pikir Deni, senang.
Sore harinya, Deni pulang ke rumahnya setelah dokter poliklinik memberikan izin. Dia ingat, tak masalah meninggalkan motornya di rumah Abah Onki barang semalam saja. Besok pagi Deni akan mengambilnya.
20/07/10 -Hasanul Rizqa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H