Apa yang terjadi ketika kekuasaan dibalut dengan kebudayaan dan melahirkan sebuah gerakan? Dalam budaya Maori, haka lebih dari sekedar tarian— melainkan sebuah simbol persatuan dan identitas kekuasaan yang mencerminkan kepemimpinan bangsa Maori. Dalam setiap gerakan haka, tarian tradisional bangsa Maori ini tidak sekedar sebuah pertunjukkan. Tariannya menjadi alat untuk menyampaikan pesan tentang keberanian, menandai dominasi dan memperteguh otoritas yang bangsa Maori miliki. Lantas apa filosofi dari haka sebenarnya? Bagaimana tarian haka ini bisa menjadi simbol kekuasaan bangsa Maori ini bisa terus hidup hingga saat ini?
Kapa Haka, bentuk budaya tradisional bangsa Maori. Bentuk ekspresi rasa bangga terhadap peninggalan nenek moyang yang dahulu dipergunakan untuk menyudutkan musuh dalam perang di wilayah Selandia Baru. Dahulu nya haka menjadi alat untuk membubuhkan rasa takut musuh sehingga menghindarkan bangsa Maori dari terlibat dalam sebuah pertarungan. Ha sendiri berarti nafas atau bernafas sedangkan Ka berarti menyulut atau membangkitkan. Kedua kata ini bermakna besar untuk membangkitkan kekuatan luhur dengan menyulut ruh leluhur bangsa Maori. Faktanya, Haka hadir dalam berbagai variasi yang tidak hanya seputar pada alat untuk menyerukan perang. Haka bisa berbentuk tarian untuk menyambut tamu, untuk merayakan sesuatu seperti pernikahan, ataupun untuk berduka dan berkabung.
Secara konvensional, Haka yang dibentuk untuk menyerukan perang dinamakan “Peruperu” atau haka perang dimana orang-orang Maori biasanya melakukan tarian Haka sembari memegang senjata. Tapi pada era modern ini, tarian Haka yang dikenal disebut “Taparahi” atau Haka yang dipertunjukkan tanpa senjata.
Perlu diketahui bahwa budaya dari bangsa Maori ini dahulu hampir dilenyapkan pada penjajahan yang dilakukan oleh Inggris di abad ke-19. Dahulu, Selandia Baru dikenal sebagai Aotearoa, dimana bangsa Maori tinggal sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Suku Maori berasal dari garis keturunan Polynesian Timur yang berlayar ribuan kilometer di lautan lepas dan menemukan Aotearoa pada 1300 Sebelum Masehi. Pulau Aotearoa terbentang jauh seluas 268.000 kilometer persegi dengan Pantai, hutan lebat, rawa-rawa, gunung-gunung dan lahan subur. Lahan subur itu hampir tidak dihuni oleh fauna apapun kecuali burung besar Moa, yang bisa dibilang adalah salah satu sumber makanan yang dimiliki oleh suku Maori.
Suku Maori membangun peradaban di lahan Aotearoa, benteng yang menutupi bukit permukiman yang dihuni. Mereka menanam ubi jalar, taro, labu, dan paper mulberry dimana bentuk mulberry tersebut digunakan untuk bahan kain untuk baju. Suku Maori terisolasi dari negara luar sampai pada tahun 1642 bulan Desember, seorang penjelajah asal Belanda bernama Abel Janszoon Tasman dan kru nya tiba di Aotearoa. Kedatangan ekspedisi asal Belanda itu disambut dengan dorongan keras dari suku Maori yang menewaskan beberapa orang dari krunya. Mengalami kejadian itu, Tasman terpaksa berlayar menjauh dan menamai pulau yang ia temukan itu sebagai ‘State land’. Salah satu pria asal Belanda kemudian menyangkal penamaan pulau yang diberikan oleh Tasman dan merubahnya menjadi ‘New Zealand’.
Setelah kejadian yang dialami Tasman, suku Maori kembali terisolasi selama 126 tahun lamanya. Sampai pada tahun 1769 di bulan Oktober, James Cook dan tim penjelajah nya yang berasal dari Inggris tiba di pulau Aotearoa dibantu oleh seorang pemandu arah asal Tahitian. Mulanya, James Cook mengumpulkan bukti-bukti sumber daya alam tentang pulau ini yang sukses menarik perhatian Kerajaan Inggris. Singkatnya, tim ekspedisi dari Inggris itu tampak diterima dengan baik oleh suku Maori yang pada saat itu berjumlah 110.000 orang.
Sejak saat itu, terjadi interaksi sosial di antara kedua belah pihak. Terjadi pertukaran perdagangan di antaranya terutama metal yang digunakan suku Maori untuk mengukir sesuatu. Pertukaran itu menghasilkan senjata dan barang-barang dari Eropa. Namun, ketenangan dan kedamaian itu tidak berlangsung lama sejak kedatangan lebih banyak warga bangsa Eropa yang memilih untuk bermukim dan menggunakan lahan-lahan yang dahulunya dimiliki suku Maori.
Kedatangan pemukim Eropa menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak karena hak atas tanah dan bagaimana orang-orang Eropa ini dengan bebas mengeksploitasi lahan dan menguasainya. Mengetahui hal itu, Kerajaan Inggris merasa bahwa ketegangan yang terjadi ini dapat menimbulkan masalah yang lebih besar. Sebab itu mereka mengemukakan sebuah ide kesepakatan kepada pemimpin suku Maori untuk menghindari hal tersebut.
Seorang kapten bernama William Hobson diutus oleh Kerajaan Inggris untuk melakukan perjanjian dengan suku Maori dimana syarat yang harus dipenuhi adalah agar diakuinya kedaulatan Kerajaan Inggris atas Selandia Baru dan sebagai timbal baliknya Kerajaan Inggris akan mengakui dan menjaga hak-hak suku Maori. Perjanjian itu kemudian dinamakan Perjanjian Waitangi yang terdiri dari tiga bahasan utama dalam bahasa Inggris dan bahasa Maori, yaitu :
Artikel pertama membahas tentang kedaulatan dimana suku Maori harus mengakui kedaulatan Kerajaan Inggris atas Selandia Baru yang berarti Inggris memiliki hak sepenuhnya dalam menciptakan hukum dan mengatur pemerintahan di Selandia Baru. Sementara dalam bahasa Maori, teks perjanjian itu berisi kesepakatan untuk memberikan suku Maori hak atas tanah dan sumber daya mereka tanpa ada kalimat yang menyebutkan bahwa mereka harus menyerahkan kedaulatan.