Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Terbelenggu Perasaan

Diperbarui: 14 November 2023   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah kalian pernah mendengarkan atau melihat video pendek yang marak di sosial media dengan jargon "se-independent apapun perempuan itu, mereka juga butuh sandaran" atau ini "semandiri apapun seorang perempuan, tetap saja dia akan menjadi perempuan yang manja dan lemah di hadapan prianya" dan jargon lain yang serupa dengan itu.

Seketika kita akan kembali flashback ke istilah yang lawas tentang perempuan dimana perempuan adalah bayi yang bertubuh besar (Plato). Meskipun ungkapan tersebut memiliki makna sebagai cerminan budaya patriarki namun adakalanya benar pada konteks tertentu. Kita bisa mengartikan ungkapan tersebut bahwa perempuan sebagai makhluk yang dominan dengan perasaan.

Contoh, pada konteks PDKT (pendekatan), perempuan remaja hingga dewasa tidak dapat mengelekkan perasaan mereka ketika diberikan buaian gombalan dan janji-janji manis pada telinga mereka dengan bersamaan akan terbawa oleh perasaannya, kalau bahasa kekiniannya adalah baper. Sampai-sampai semua akan terasa nyata dengan ucapan kaum lelaki.

Nah, dalam sebuah ikatan hubungan baik pacaran ataupun pernikahan. Ada satu hal yang tidak bisa dihindari oleh kaum perempuan itu sendiri. Yaitu rasa cinta, rasa sayang, dan rasa mengasihi kekasih atau suami. Sehingga perasaan ini menjadi sebuah titik kelemahan yang dimanfaatkan oleh kaum lelaki bahkan menjadi alat untuk menundukkan mereka.

Ironisnya, hal ini pun terjadi kepada sebagian perempuan yang notabene mereka berada di kalangan perempuan progresif atau sebagai aktivis. Maksudnya gimana guys ? Begini, sebagian perempuan yang mengawal isu-isu gender, kesetaraan dan keadilan perempuan ketika diperhadapkan dengan romantisme maka akan timbul perasaan seperti ingin dimengerti, dimanja, diutamakan bahkan posesif kepada pasangannya.

Lalu, apa iya perjuangan gender itu berangkat hanya semata-mata dari logika berfikir perempuan ataukah lahir dari pengalaman perasaan mereka sendiri ?. Saya dapat menjawab "Ya" untuk keduanya. Sebab perempuan menginginkan kemerdekaan untuk tidak tunduk oleh dominasi perasaan yang dapat menjadi budak laki-laki hingga rela mengorbankan segalanya demi cinta. Jika ini terjadi terus-menerus maka 8172 kasus (CATAHU  Komnas Perempuan Tahun 2023) kekerasan verbal dan non-verbal terhadap perempuan akan meningkat dalam hubungan personal (pacaran dan pernikahan).

Belum lagi psikis perempuan berisiko mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) gangguan stres pasca trauma dibandingkan pria. Kondisi ini akan menimbukan sakit mental yang parah, seperti mimpi buruk, insomnia, gangguan somatik, kesulitan berhubungan intim, ketakutan, kecemasan, kemarahan, rasa malu, agresi, perilaku ingin bunuh diri, kehilangan kepercayaan dan isolasi.

Berangkat dari semua itu, perempuan memang terbelenggu oleh perasaan. Untuk menghindari jebakan kaum lelaki bahkan merasa merdeka dan bebas, mereka masih meraba dalam ketidakjelasan menjalani hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline