Pada era sekarang, pornografi bukan sesuatu hal yang baru. Hampir semua kalangan dapat mengakses fitur-fitur itu yang disediakan oleh kecanggihan media teknologi digital. Konten pornografi tidak hanya di dapatkan melalui video, juga dapat berupa gambar, teks, atau materi lainnya yang menampilkan tindakan seksual. Hingga lahir sebuah adagium "Pornografi merupakan Referensi", ungkapan ini membuat kita tidak lagi tercengang ataupun kaget, sudah menjadi pembahasan yang lumrah dan tidak tabu di kalangan masyarakat modern. Seketika timbul beberapa pertanyaan, "Apakah pornografi itu benar-benar merupakan referensi yang baik?", "Apakah itu baik atau buruk ?", "Seberapa banyak manfaat dan mudaratnya bagi manusia itu sendiri ?"
Teringat dengan satu teori Simulacrum Hyperreality (Simulakra Hiperrealitas) yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer berasal dari Prancis. Dalam pemikirannya, masyakarat modern telah mengalami kondisi simulakra hyperrealitas dimana kondisi simulakra merupakan sesuatu yang tidak naturalis dan tidak alami. Ia hadir dari sistem teknologi yang terus-menerus berkembang. Simulakra hadir dalam tata dunia dengan gaya ala game cybernetic yang mempunyai peran besar dalam pengoperasian informasi teknologi. Baudrillard menjelaskan betapa simulakra ini mempengaruhi kehidupan manusia dimana simulacra memiliki rangkaian dasar imitasi, citra dan duplikasi dari sesuatu yang telah ada. Seperti yang terjadi dalam sosial masyarakat.
Hasil dari analisis Baudrillard terkait kondisi masyarakat postmodern yang sudah berada pada kondisi simulakra level ketiga, yakni penolakan terhadap realitas yang riil "Penolakan itu didasarkan pada kerja simulakra yang mengaburkan dan menghilangkan referensi asli atau realitas yang asli . Simulakra mengedepankan yang imitasi sebagai sesuatu yang benar, maka yang tampak imitasi itulah kebenaran ontologis.". Menarik benang merah dari teori tersebut, kenyataannya, orang-orang yang menjadikan pornografi sebagai referensi hanya sebuah imaji yang terekam dalam memori melalui daya konsumsi media. Entah media itu legal atau non-legal. Sehingga untuk mencapai puncak kepuasan dalam berhubungan intim dengan pasangan tidak natural. Bahkan, tidak tanggung-tanggung menggunakan media tersebut untuk membangkitkan gairah seksual.
Mengapa terjadi demikian? sebab pornografi merupakan media tayangan yang dilakoni oleh laki-laki dan perempuan bahkan lebih, dimana mereka melakukan hubungan seksual di luar dari batas kewajaran manusia (kekerasan). Secara tidak langsung juga media membentuk satu objektivikasi tubuh ideal, gerakan, gaya, pose, hingga suara yang didramatisasi membuat para penonton mengopi paste objek visual tersebut ke dalam alam bawah sadarnya dan berkeinginan merasakan sensasi tersebut. Bisa saja melupakan realitasnya bahwa pasangan mereka tidak seelok dari apa yang mereka lihat di dalam film tersebut. Perilaku kepercayaan ini akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap komunikasi, keintiman, dan kepuasan pasangan.
Dalam study penelitian Wheatley Institution dan Austin Institute pada tahun 2020 dengan judul "The Four Cs of Pornography in Couple Relationships", dari hasil data yang didapatkan, bahwa 20% pria yang berpacaran dan menikah setuju bahwa mereka merasa tidak mampu menghentikan penggunaan pornografi. Jumlah perempuan jauh lebih sedikit, dengan hanya 4% perempuan yang berpacaran dan kurang dari 3% perempuan menikah yang melaporkan kekhawatiran yang sama. Namun, beberapa perempuan melaporkan bahwa mereka khawatir dengan penggunaan pornografi yang dilakukan pasangannya, dengan sekitar 1 dari 5 perempuan yang berpacaran dan menikah melaporkan bahwa mereka khawatir pasangannya tidak bisa berhenti menonton pornografi. angkanya sangat mirip dengan jumlah pria yang mengkhawatirkan pengendalian diri terkait penggunaan pornografi. Secara khusus, penelitian tersebut menemukan dua pernyataan dari para responden, yaitu "I feel unable to stop my use of online pornography" (Saya merasa tidak bisa menghentikan penggunaan pornografi online) dan "I am worried that my partner cannot stop watching pornography." (Saya khawatir pasangan saya tidak bisa berhenti menonton pornografi).
Maka dengan itulah sebabnya penelitian tersebut juga menemukan fakta lapangan bahwa kedua pasangan yang tidak mengonsumsi pornografi memiliki tingkat stabilitas hubungan, komitmen, dan kepuasan hubungan tertinggi dibandingkan pasangan yang menjalankan hubungan dengan mengonsumsi pornografi. Sebab, itu tadi, para ahli menyatakan bahwa bertahannya satu hubungan yang lama yaitu didasari dengan mengembangkan keterikatan yang aman satu sama lain, dimana masing-masing pasangan percaya bahwa pasangannya akan tanggap secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap kebutuhan satu sama lainnya.
Adapun dampak buruk dari pornografi ialah akan menimbulkan hormone dopamine detox. Saat melihat konten yang mengandung pornografi, otak akan dipenuhi oleh hormon dopamin. Pada dasarnya, hormon dopamin merupakan senyawa kimia untuk mengendalikan emosi dan menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh. Namun, apabila hormon dopamin keluar dengan banyak akan mengakibatkan prefrontal cortex (bagian dari otak yang berperan sebagai pusat kepribadian karena memiliki fungsi eksekutif) rusak diakibatkan oleh limpahan cairan dopamin yang berlebihan (membanjiri). Efek dari hal itu menjadikan manusia begitu adiktif sehingga aktifitas masturbasi dan orgame menjadi suatu habitus yang wajar. Berikut ciri-ciri ketika telah mengalami kecanduan dari pornografi:
1. kurangnya rasa percaya diri;
2. menurunnya daya kreativitas dan inovasi di alam imajinasi;
3. kesulitan dalam membedakan baik dan buruk;
4. kesulitan dalam memusatkan daya focus dan konsentrasi;