Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara independen yang dibentuk dengan tujuan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Namun, baru-baru ini, 75 pegawai KPK dinonaktifkan karena tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dengan alasan dianggap tidak pancasilais. Keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontroversi di kalangan masyarakat.
Beberapa pertanyaan dalam TWK dianggap tidak relevan dan cenderung menjebak. Misalnya, pertanyaan yang meminta pegawai KPK memilih antara Al-Qur'an atau Pancasila. Padahal, kedua hal tersebut memiliki konteks yang berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan. Al-Qur'an adalah kitab suci yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, sementara Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia. Pertanyaan lain yang juga dipertanyakan adalah mengenai pendapat tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Islam Indonesia (TII), Lesbian, Gay, dan Transgender (LGBT), kesediaan melepas jilbab bagi perempuan, pandangan tentang mengucapkan selamat Natal, dan rencana pernikahan. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dianggap tidak berkaitan langsung dengan tugas pemberantasan korupsi dan lebih terlihat sebagai upaya untuk menyingkirkan pegawai yang kritis terhadap korupsi.
Penonaktifan 75 pegawai KPK ini semakin mencurigakan karena sebagian dari mereka sedang menangani kasus-kasus korupsi besar di Indonesia. Salah satunya adalah kasus suap yang melibatkan Harun Masiku, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang hingga kini masih buron. Harun diduga memberikan suap sebesar Rp850 juta kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan untuk memuluskan pergantian antarwaktu anggota DPR RI.
Kasus lainnya adalah dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. Juliari diduga menerima suap sebesar Rp17 miliar dari pengadaan paket bansos untuk wilayah Jabodetabek. Akibat perbuatannya, Juliari divonis 12 tahun penjara dan diwajibkan mengembalikan uang hasil korupsi.
Dengan dinonaktifkannya pegawai-pegawai yang berintegritas ini, proses penyelidikan kasus-kasus korupsi besar menjadi terhambat. Masyarakat Indonesia pun merasa kehilangan harapan akan penegakan hukum yang adil dan transparan. KPK, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, kini tampak dilemahkan dari dalam.
Sebelumnya, pada tahun 2019, revisi Undang-Undang KPK juga telah mengurangi kewenangan lembaga ini. Salah satunya adalah perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang membuat mereka berada di bawah kendali eksekutif. Padahal, KPK seharusnya independen dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar kepada siapa lagi rakyat dapat menggantungkan harapan untuk memberantas korupsi? Ketika KPK dibungkam, para koruptor justru semakin leluasa berpesta merampok uang negara. Akibatnya, rakyat kecil semakin menderita karena hak-hak mereka dirampas oleh segelintir elit yang tamak.
Sebagai negara demokratis, Indonesia seharusnya menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat merasa terpinggirkan di negeri sendiri akibat ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketika harapan terakhir, yaitu KPK, dilemahkan, maka korupsi akan semakin merajalela, dan penderitaan rakyat akan semakin dalam.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus mengawasi dan menyuarakan aspirasi kepada pemerintah agar mengelola negara ini dengan jujur dan adil. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa hak-hak rakyat terlindungi dan masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi dapat terwujud.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI