Beberapa indikator dalam menilai resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi, menghadapi stress, tingkat depresi dan menghadapi kondisi sulit. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), mahasiswa selama PPKM terutama pada rentang umur 17-30 tahun cenderung sering mengalami gejala-gejala depresi, seperti mudah marah, takut berlebihan dan mengalami kecemasan.
Data tersebut menunjukkan sebanyak 24,7% mudah marah, 16% takut berlebihan, dan 24,7% sering merasa cemas. Kondisi tersebut menunjukkan rentang usia 17-30 tahun adalah kelompok umur yang mengalami gejala-gejala depresi yang lebih tinggi dari kelompok umur lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwasanya mahasiswa memerlukan resiliensi dalam menjalani permasalahan kehidupan. Contoh permasalahan kehidupan yaitu ketika memasuki perguruan tinggi.
Mahasiswa akan membentuk proses resiliensi akademik dimana mahasiswa akan mengalami berbagai intensitas kekacauan emosi. Namun mahasiswa juga akan mengalami tahap reintegration setelah mengalami intensitas kekacauan emosi sehingga akhirnya mahasiswa dapat menyesuaikan diri, berhasil melalui segala bentuk ujian, pembentukan identitas diri, dan mencapai kemandirian dalam memberdayakan fungsi sosial, emosional, fisik dan akademik.
Mahasiswa memiliki berbagai pengalaman dalam menghadapi kehidupan akademik. Fenomena yang perlu diketahui yaitu perbedaan berbagai mahasiswa dalam menanggapi permasalahan, ada mahasiswa yang dapat melalui berbagai tahapan dengan baik namun ada pula yang gagal menjalaninya. Banyak kegiatan yang perlu diperhatikan di perguruan tinggi seperti belajar, menghadapi ujian, pembentukan identitas, dan kemandirian dari orangtua mempengaruhi fungsi sosial, emosi.
Resiliensi secara akademik dalam konteks perguruan tinggi diartikan sebagai kemampuan menghadapi tantangan, kesulitan, dan tekanan dalam seting akademik secara efektif (Martin & Marsh, 2006). Dalam lika liku kehidupan pasti kita mengalami kegagalan, keterpurukan dan sebagainya.
Dengan resiliensi, hal tersebut dapat mengatasi benturan benturan yang menghantam dengan efikasi diri kemudian menganalisis masalah dan tetap optimis. Terutama dengan regulasi emosi, keadaan harus dapat dikendalikan dengan tetap berada dalam keadaan tenang, dan terkendali. Dengan emosi yang terkendali, semua benturan benturan ataupun masalah dapat dihadapi dengan baik dan keadaan diri pun membaik.
Menurut Wang dan Gordon (1994) menambahkan bahwasanya mahasiswa atau pembelajar yang memiliki resiliensi akademik dapat mengubah lingkungan dan situasi yang dianggap sulit menjadi sumber motivasi dengan berorientasi pada tujuan akademik, serta memiliki berbagai keahlian dan keterampilan dalam memecahkan masalah dan keterampilan secara sosial.
Mahasiswa dengan resiliensi akademik juga dapat berhasil mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan yang dijalani dimana mereka berjuang dalam situasi yang negatif dan tetap memiliki kemungkinan tidak berhasil.