[caption id="attachment_126973" align="aligncenter" width="500" caption="pict from google.com"][/caption] Lidahku kelu melompati serbuan kisah yang mengasah takdir membeku, pada kenop mimpi yang mengatur cepat-lambat ketiadaan botol susu pecah, serpihannya menumpuk pada loteng pikiran menawarkan pilihan sederhana kepada siang dan malam "rindu atau sebutir peluru" maka kuhangatkan saja salah satunya diatas tungku ciuman dengan masa silam sebagai kayu bakarnya yang enggan mengabu Ketika dengkur perdu membangunkan angsa hitam di bibir telaga suaranya meliuk masuk pori-pori waktu, merobek utara dan selatan mengacaukan detak nadi dalam sehari memerkosa jarum pendek arloji Aku mulai bersendawa luka sambil perlahan memuntahkan segala isi kebencian, kejahatan, dan kebengisan di dalam cawan-cawan keheningan matamu adalah satu-satunya angin yang memaksa perut ingatanku menyerah Aku pun mulai terbata-bata membaca pagi meski langit merekah, samudera bercahaya, Tuhan berdiri di pucuk pagi mataku buta melihat kepingkeping senyum yang kau tukar dengan punggung belakang hingga embun mengerang panjang, ilalang melenguhkan dosa, kupu-kupu berdakwah diatas asoka keimanan adalah nasi bungkus yang mampu dibelinya dengan sebanyak hari dalam setahun masa lalu memang giat membangun-tidurkan tubuhku yang tirus yang lemah diterpa kerlip matamu yang secerlang bulan kidung yang terbiasa memanggil kebahagiaan pun kini tiada hanya gigil kenangan yang membeku di bibirku kemudian mengikat harapan satu per satu disepanjang sungai waktu dengan riak kecil adalah bidadari yang dititahkan dewa sebagai kekasihku yang baru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H