"Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan"
-Thomas Alfa Edison-
Hampir semua orang mungkin pernah mendengar kisah seorang Thomas Alfa Edison, ilmuan dan juga kreator lampu pijar yang sampai sekarang manfaat penemuannya dapat kita rasakan. Edison dipandang sebagai salah seorang pencipta paling produktif pada masanya, Edison memegang rekor 1.093 paten atas namanya. Ia juga banyak membantu dalam bidang pertahanan pemerintahan Amerika Serikat.
Atau mungkin kita juga pernah mendengar nama Sir Winston Leonard Spencer Churchill (Winston Churchill). Winston Churchill adalah tokoh politik dan pengarang dari Inggris yang paling dikenal sebagai Perdana Menteri Britania Raya sewaktu Perang Dunia Kedua. Peranannya sebagai ahli strategi, orator, diplomat dan politisi terkemuka menjadikan Churchill salah satu dari tokoh paling berpengaruh di sejarah dunia. Hingga pada tahun 1953, Churchil dianugrahkan penghargaan Nobel di bidang literarur karena sumbangan yang ia berikan dalam buku-buku karangannya mengenai bahasa inggris dan sejarah dunia.
Pun dengan Albert Einstain. Albert Einstain adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistika, dan kosmologi. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotolistrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoritis".
Namun, jarang orang mengetahui dari 3 tokoh hebat yang penulis sedikit ceritakan diatas adalah orang-orang yang mengalami Disleksia semasa kecilnya. Disleksia itu sendiri merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat atau akurat dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengode simbol.
Maka tak aneh jika Edison muda selalu mendapat nilai buruk di sekolahnya. Winston yang masa kecilnya kebanyakan dihabiskan di asrama sekolah. Atau si Genius Einstein yang semasa kecilnya sangat membenci sekolah. Lalu, apa yang bisa kita tangkap dari cerita Tersebut?
Ada beberapa nilai yang ingin penulis sampaikan dalam catatan ini. Bagaimana mungkin seorang yang mengalami keterbatasan mampu menjadi manusia-manusia yang tercatat paling memberikan pengaruh terhadap peradaban manusia.
Kemuliaan adalah apa yang kita tidak senangi
Pertama, kita bicarakan dulu mengenai hakikat manusia. Pemberontakan terhadap kenyamanan yang ada dalam setiap diri manusia barangkali bisa menjadi kunci. Mungkin kita senang berdiam diri menikmati kenikmatan hidup, hingga muncul istilah “Tak apa, yang penting kita tak merugikan orang lain”. Pola hidup seperti ini memang dewasa ini menjadi ideologi yang melekat pada manusia yang berkiblat pada modernitas. Nilai ke-shaleh-an Sosial terabaikan. Bebas melakukan apapun selama apa yang kita perbuat tak merugikan orang lain. Tak ada nilai minus, apalagi plus. Begitu kira-kira.
Persepsi diatas mungkin dirasa benar, tak bisa kita katakan salah. Manusia dengan haknya sebagai makhluk yang bebas memilih menjadi dasar asumsi tersebut. Tapi baiknya, kita tela’ah dari sisi lain.
Bagi anda orang Sunda mungkin pernah mendengar Papatah Kolot Baheula yang sangat luarbiasa. “Jelema mah lain di arah daging na, tapi tanaga na (yang dicari dari manusia bukanlah dagingnya, tapi tenaganya)”. Ada sebuah nilai dari pepatah tersebut, yang intisarinya berujung kepada sebuah kata; Manfaat.