Aku masih kecil, pikiranku tak sedalam orang-orang dewasa disekelilingku. Aku hanya mampu bertanya, bertanya tentang berbagai keluh dan tamparan-tamparan yang terjadi dalam kehidupan. Siang itu, aku menjauhi TV yang sebelumnya selalu menjadi media keingintahuanku tentang dunia diluar sana. Dunia dengan berbagai macam polemik orang dewasa. Sebenarnya, ingin sekali aku keluar dari tanah petak ini, aku ingin melihat dunia lebih luas, lebih dari sekitarku.
Ayahku bilang, aku orang tak biasa. Bahkan beliau seringkali mengatakan jika aku adalah anak yang “anti-biasa”. Maksudnya, ayahku sering berkata jika aku tak seperti anak-anak biasanya, bahkan aku berani untuk berkata enggan saat ayah menanyakan apa aku ingin mempunyai sepada baru seperti teman-teman tetanggaku. Pikiranku, ya pikiranku. Ayah sering berkata pikiranku terlalu cepat untuk “aqil baligh”.
Aku memulai aktifitas berpikirku dari sebuah kata “andai”. Aku sering berpikir, andai kelak aku menjadi seorang petani, yang akan kutanam bukanlah padi atau jagung, tapi benih-benih kekejujuran. Mengapa? Karena ayah sering berkata jika kejujuran adalah kunci bersosialisasi.
Andai aku kelak menjadi seorang prajurit, aku tak akan takut berperang dengan musuh. Karena ayahku pernah bertakata, jika musuh paling berbahaya adalah diri sendiri. Dimana sering kali kemunafikan muncul disitu.
Andai kelak suaraku seindah penyanyi, ingin sekali kulantunkan ayat-ayat Allah pada anak-anakku saat mereka hendak tidur. Tenang, aku tau, ayahku yang melakukan itu setiap kali aku susah untuk tidur, bahkan disaat aku terbangun dari mimpi burukku.
Andai kelak aku menjadi seorang penulis, aku akan menulis kejelekan, kekurangan, dan segala keburukan teman-temanku yang merugikanku bukan pada kertas putih dan suci ini, kan ku tuliskan di atas air. Mengapa? Ayah seringkali berkata, jika membalas kejelekan orang lain dengan kejelekan itu adalah sebuah kerugian. Namun jangan dilupakan, jadikan itu sebagai contoh yang tak baik, dan lakukan sebaliknya.
Andai kelak aku menjadi seorang pelukis, aku hanya akan melukiskan objek lukisanku dengan 2 warna, “HITAM dan PUTIH”. Mengapa? Ayahku pernah berkata jika 2 warna itu mewakili 2 sifat dominan yang ada dalam diri manusia. Maka jadilah orang sebaik-baiknya, atau sejahat-jahatnya.
Andai kelak aku menjadi seorang ahli bahasa, akan aku hilangkan kata “benci”, “karena”, dan “sebab”. Aku tak mau menggunakan frasa “tak suka” untuk menggantikan kata “benci”, atau kata “karena” dan “sebab” sebagai lanjutan dari kalimat kebaikan yang mengganggu keikhlasan.
Andai kelak aku menjadi seorang penyair, aku enggan menuliskan segala perasaanku tentang seseorang. Bagiku itu egois dan menyempitkan makna karya puisi. Aku hanya ingin menuliskan perasaan-perasaan teman-teman yang kurang beruntung yang tiap hari menjerit meminta keadilan.
Dan andai kelak aku menjadi seorang yang pintar, itu adalah pekerjaan paling berat untukku. Aku ingin menjadi orang bodoh saja, dimana orang-orang akan tertawa melihat kebodohanku. Ayah sering berkata, banyak orang pintar yang tak berguna di negeri ini, bahkan menyusahkan masyarakat dengan kepintarannya, sering buat orang tua teman-temanku menangisi hidupnya, ya.. ayahku sering menyebut orang pintar tersebutkoruptor.
Andai..
Andai aku..
Ah.. ini cuma sekedar andai. Tapi bermimpi itu baik, kata ayah. Dan katanya hidup itu berawal dari mimpi, meskipun aku lebih setuju jika hidup berawal dari kita bangun.
Bandung, 5 Februari 2012.
21:45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H