Lihat ke Halaman Asli

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, Berbeda tetapi Tetap Satu Jua

Diperbarui: 6 Juli 2023   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama merupakan dua organisasi islam besar di Indonesia yang tidak sedikit memberikan kontribusi terhadap perkembangan islam di Indonesia. Kedua organisasi ini aktif dalam bidang pendidikan di Indonesia. Tersebar banyak pesantren-pesantren, madrasah dan perguruan tinggi NU (Nahdatul Ulama), begitu pula sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang didirikan oleh Muhammadiyah.

Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 sedangkan Nahdatul Ulama didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926. Kedua organisasi ini menganut paham Ahlussunnah walJama’ah walaupun dalam praktiknya terdapat perbedaan. Muhammadiyah memiliki misi yaitu mengembalikan ajaran islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah.
Muhammadiyah juga dikenal dengan gerakan pembaharuannya dan menghindari tradisi atau budaya terdahulu yang memiliki kemungkinan mengarah ke bid’ah dan syirik. Dalam sistem penentuan hukum, Muhammadiyah lebih fokus ke Al-Qur’an dan sunnah, berbeda dengan NU yang mengambil kitab kuning sebagai sumber tambahan dan penjelas dari Al-Qur’an dan sunnah.

Sedangkan NU, juga sama seperti Muhammadiyah yang berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah tetapi ditambah dengan bermazhab ke salah satu dari empat imam mazhab yaitu imam Syafi’i. Berbeda dengan Muhammadiyah yang cenderung menghindari tradisi dan budaya islam terdahulu karena menurut mereka itu tidak termasuk ajaran islam yang murni, NU tetap melestarikan tradisi dan budaya terdahulu dengan memilah mana yang sekiranya dapat dimasukkan unsur islam ke dalamnya selama tradisi dan budaya itu tidak mengandung kesyirikan. Dan karena hal inilah NU dikenal sebagai organisasi islam tradisional.

Tradisi dan budaya tersebut meliputi mauludan, ziarah kubur ke makam wali atau keluarga, selametan/syukuran, maulid diba’iy, rejeban/isra’mi’raj dan tahlilan atau peringatan kematian pada hari ke-3, 7 hari, 40 hari, 100 dan 1000 hari. Tahlilan dilakukan pada malam hari setelah jenazah dikuburkan dan dilakukan lagi keesokan malamnya sampai pada hari ke-3. 

Pada hari ke-3, tahlilan dilakukan dengan menyajikan nasi tumpeng yaitu nasi kuning yang berbentuk kerucut (Nasi tumpeng adalah nasi kuning yang berbentuk kerucut yang biasanya disajikan di atas tampah yaitu nampan yang terbuat dari anyaman bambu. Nasi tumpeng biasanya disajikan dengan lauk pauk yang diletakkan mengitari kerucut nasinya. Lauk pauknya bermacam-macam, mulai dari ayam, tempe, tahu, bihun atau mi serta sayur-mayur lainnya.). Tahlilan selanjutnya dilakukan selama 7 hari berturut-turut, yaitu pada hari ke-4 sampai hari ke-7 lalu pada hari ke-7 diadakan tahlilan dan selametan dengan mengundang tetangga sekitar. Setelah lewat 7 hari, setiap hari jum’at setelahnya dilakukan tahlilan sampai hari ke 40 kemudian diadakan tahlilan dan selametan lagi. Tahlilan selanjutnya dilakukan pada hari ke-100 dan ke-1000 dengan kembali mengundang tetangga sekitar.

Tradisi pra islam yang masih dilakukan sampai saat ini adalah “Sedekah Bumi” yang dilakukan setelah panen. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur karena panen yang sukses dan sebuah harapan agar panen selanjutnya lebih sukses. Setelah masuknya islam ke nusantara, Sedekah Bumi dilaksanakan dengan memasukkan unsur islam didalamnya yaitu dengan pembacaan doa-doa terlebih dahulu karena suksesnya panen tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah SWT., kemudian membagikan hasil panen ke warga sekitar.

Tradisi syukuran dan selametan kerap dilakukan di daerah tempat tinggal penulis. Contoh lainnya yaitu syukuran khitanan yang dilakukan setelah meng-khitan anak laki-laki dari suatu keluarga dengan mengadakan selametan yang mengundang tetangga sekitar. Adapun Walimah al-Ursy yaitu syukuran yang diadakan setelah akad nikah sebagai bentuk rasa syukur atas terlaksananya salah satu ibadah dalam islam yaitu pernikahan. Adapun tradisi yang ditinggalkan yaitu persembahan sesajen yang mengandung unsur kesyirikan.

Muhammadiyah tidak sependapat dengan tradisi syukuran atau selametan di atas yang masih dijalankan karena tidak sesuai dengan misi mereka yaitu selalu melakukan pembaharuan setiap abad dan meninggalkan kebiasaan terdahulu yang tidak pernah dilakukan pada zaman nabi pun tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Bukan tanpa alasan NU tetap melakukan tradisi tersebut. Terdapat hadis yang menyatakan perintah nabi Muhammad SAW. Untuk menjalankan sunnah beliau dan sunnah pemimpin-pemimpin setelah beliau. Juga wali serta ulama adalah pewaris nabi dalam menyebarkan agama islam. Bukan tanpa alasan juga Muhammadiyah menolak tradisi dan budaya islam terdahulu. Nabi pernah mengatakan bahwa dalam setiap abad Allah akan mengutus seseorang untuk melakukan pembaharuan. Oleh karena itu menurut organisasi Muhammadiyah, tradisi dan budaya tersebut tidak perlu dilakukan untuk menuju pembaharuan islam yang lebih modern.

Perbedaan ini baru penulis sadari setelah beranjak dewasa. Karena sedari kecil hidup di lingkungan NU, banyak informasi terkait perbedaan yang penulis dapatkan dari teman dan lingkungan sekitar. Contohnya penggunaan doa qunut dalam solat subuh. Sedari kecil penulis belajar dan diajarkan oleh keluarga maupun sekolah bahwa dalam solat subuh ada sunnah untuk membaca doa qunut yaitu setelah gerakan I’tidal pada raka’at kedua, dan apabila lupa tidak membacanya, boleh diganti dengan sujud syahwi setelah duduk tasyahud akhir sebelum salam. Setelah menginjak bangku kuliah, penulis banyak memperoleh informasi baru dari sosial media maupun teman-teman dari organisasi Muhammadiyah maupun organisasi lain bahwa mereka tidak membaca doa qunut seperti yang penulis lakukan selama ini. Dari sini penulis baru mengetahui, oh ternyata ada perbedaan semacam ini dan hal ini membuka pikiran penulis pribadi. Dari sinilah banyak perbedaan-perbedaan lain yang penulis baru ketahui.

Perbedaan lainnya yang juga baru penulis sadari adalah pelakasanaan idulfitri dan iduladha tahun 2023 ini. Pelaksanaan salat idulfitri dan iduladha pada hari yang berbeda entah kenapa baru terlihat jelas dan penulis sadari pada tahun ini. Belakangan penulis mengetahui bahwa terdapat perbedaan sistem perhitungan astronomi dalam menentukan penanggalan kalender Hijriah antara Muhammadiyah dan NU. Lagi-lagi penulis kaget dan tidak menyangka hal ini bisa terjadi, tetapi kembali lagi bahwa segala perbedaan itu adalah sebuah bentuk rahmat dari Allah SWT. dan kita tidak seharusnya memperdebatkan siapa-siapa yang lebih benar. Cukup yakin dan jalani dengan sepenuh hati apa yang kita anggap benar tanpa menghakimi satu sama lain, mungkin itu yang diharapkan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Apalagi sampai mengkafirkan satu sama lain bahkan mengeklaim bahwa surga hanya untuk golongan tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline