Kita bisa mendapatkan sesuatu dari anak jalanan. Tentu bukan materi, tapi sesuatu yang lebih bernilai daripada itu.
Hampir tiga minggu lalu, saya dan rekan komunitas saya terjun ke jalanan melakukan riset. Riset kami bercerita tentang problematika anak jalanan di kota hujan. Kami ingin mewawancarai anak jalanan, bagaimana mereka bisa hidup di jalanan hampir setiap harinya. Setelah titik ditentukan, kami menelusuri tempat tersebut. Dan, tidak butuh waktu lama, kami menemukan seorang anak jalanan.
Anak tersebut sedang menjajakan dagangannya dari satu kendaraan ke yang lainnya. Komunitas kami kemudian mencoba mewawancarai anak tersebut. Tak lama berselang, kami diperhatikan oleh dua pasang mata Ibu-ibu yang tampak khawatir. Satunya ibu yang terlihat lebih muda, satunya lebih berumur. Saya pikir, kenapa mereka khawatir? Akhirnya, sambil teman saya mewawancarai anak tersebut, saya coba berdiskusi dengan Ibu-ibu yang takut itu.
Saya berdiskusi cukup panjang dengan para ibu dan menemukan beberapa hal. Pertama, ternyata anak yang teman saya wawancarai itu adalah anak kandung ibu yang terlihat cukup berumur. Mereka takut kalau kami akan melaporkannya ke pihak yang berwajib. "Jadi itu sebabnya, mereka khawatir" Pikir saya.
Hal selanjutnya tentang perlakuan yang diterima. Beragam memang. Ada yang merasa kasihan, tapi banyak juga stigma negatif tentang mereka. Pandangan meremehkan dan menjatuhkan sering di dapat. Karena orang-orang yang hidup di jalanan dianggap tidak berhasil dalam hidupnya, perlakuan dari masyarakat juga terbentuk. Oleh karenanya, mereka memandang remeh manusia yang ada dibawah.
Tapi ada juga yang berpandangan skeptis apakah mereka benar pengemis atau tidak. "Kenapa skeptis?" Tanyaku. Ibu yang lebih muda menjawab "karena ada pengemis yang kaya teh tapi tetap mengemis di jalanan, atuh" Jawabnya. Ada memang pengemis yang ternyata punya kekayaan yang besar. Dalam sebuah berita dari kompas, pengemis di kabupaten Pati yang bernama Legiman, memiliki kekayaan senilai 1 miliar. Dari sini, pandangan skeptis muncul apakah orang tersebut benar-benar tidak mampu atau tidak.
Terakhir, soal motif mereka turun ke jalan. Seperti yang diduga, motifnya karena ekonomi. Keluarganya butuh makan dan suaminya bekerja serabutan. "Tentu saja" Pikirku, jadi wajar jika banyak orang-orang pergi ke jalanan untuk mengais rejeki demi sesuap nasi. Apalagi juga, sekolah juga butuh biaya.
Banyak penelitian yang mengkaji penyebab anak turun ke jalanan yang berakar dari ekonomi dan keluarga. Keduanya saling terkait. Anak sering dilibatkan untuk membantu mencari rejeki. Itu pun juga bukan kemauan tapi keharusan karena biaya hidup yang mahal.
**
Dari wawancara ini, saya mendapat beberapa pelajaran penting. Apakah orang yang hidup di jalanan tidak punya martabat? Tentu punya, Setiap manusia ingin diperlakukan baik tanpa memandang status apapun, tak terkecuali orang yang hidup di jalanan. Karena, sebenarnya kita semua diciptakan dari unsur yang sama. Kenapa pula kita memperlakukan manusia secara berbeda, dalam artian ada yang diperlakukan baik dan ada yang buruk.
Kita juga sering mengukur tingkat keberhasilan manusia hanya dari segi materi: harta, jabatan, dan kepemilikan. Padahal, materi itu bersifat fana dan mudah sekali hilangnya. Untuk apa membanggakan sesuatu yang fana itu. Kepemilikan materi hanyalah bentuk ujian dari Tuhan apakah kita bisa diamanahkan untuk melakukan sesuatu yang baik atau tidak.