Sistem kenegaraan yang dianut oleh Negara tercinta kita ini dikenal dengan istilah jenjang piramida. Dengan kata lain sumber teori piramida (Stufentheory) ini telah banyak diadopsi oleh beberapa organisasi besar di Republik Indonesia. Sistem Hukum Berjenjang ini tentu telah dikenali dengan pelopor Hans Kelsen ia menyatakan “Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang lebih tinggi (Seperti Konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).”
Diorgranisai otonom Muhammadiyah terlihat telah mengadopsi Stufentheory dalam mengembangkan dan menguatkan persyarikatan organisasinya. Dimulai dari kepengurusan yang terendah yakni Tingkat Ranting, Cabang, Daerah, Wilayah, dan Pusat. Tampak jelas sekali bahwa organisasi besar yang sangat berperan aktif, sejak zaman perjuangan hingga pembangunan turut dalam mengembangkan sistem berjenjang. Dilihat dari prespektif efisiensinya Persyarikatan mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan diisi oleh berbagai elemen sebagai kadernya
Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM), baik dalam aspek kelahiran (historis), ideologi serta gerakannya erat hubungannya dengan Muhammadiyah. PCPM sebagai organisasi otonom dari organisasi besar Muhammadiyah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mewadahi kader-kader muda Muhammadiyah dalam rangka membentuk generasi penerus Persyarikatan (Muhammadiyah), umat dan Bangsa.
Hal ini menuntut kader muda berperan aktif dalam mengembangkan diri pada organisasi. Pemuda Muhammadiyah sendiri menawarkan tingkat Ranting hingga pusat. Jenjangnya jelas, kader muda bisa turut aktif di Kepengurusan Cabang apabila ingin membaktikan dirinya ditingkatan yang lebih lanjut. Sebagai Kader Muda penting sekali mendarma baktikan diri pada tingkatan yang ada, walaupun telah berada pada posisi Pimpinan tertentu (Daerah Misalnya), ia wajib juga berperan aktif dalam mendukung program yang dilaksanakan pada pimpinan cabang dan pimpinan rantingnya.
Otokritik Terhadap Pengkaderan Dalam Prespektif Fenomologi
Kali ini pembahasan dalam prespektif fenomologi, pada perkembangan seorang kader Pemuda Muhammadiyah diera Milenial. Yang kita ketahui 2028 hingga 2030 kedepan seorang kader muda akan menghadapi bonus demografi penduduk (Generasi Usia Produktif). Pertanyaannya ialah Kanapa Harus PCPM Dahulu ? Seperti yang kita ketahui Bersama Baitul Arqom Dasar (BAD) Merupakan jenjang pengkaderan formal yang ada di Pemuda Muhammadiyah, sebelumnya bernama Melati Tunas. Perubahan tersebut berdasarkan Tanfidz Muktamar di Padang pada tahun 2014 silam.
Dalam perjalanannya BAD 2020 yang lalu merupakan sejarah baru bagi perkembangan kader di daerah Belitung dan Belitung Timur. Dengan adanya kemajuan tersebut harapannya pengkaderan dapat terus berlangsung dan tidak sekedar menjadi ajang seremonial. Adanya internalisasi ideologi lanjutan secara Komprehensif menjadikan program pengkaderan semakin singnifikan dalam penyampaian ideologi persyarikatan (Muhammadiyah).
Hal tersebut guna mendukung pemantapan kader secara menyeluruh dalam memahami ideologi atau dalam Bahasa lain kader tidak kembali menangkap “abu” melainkan “api” ideologi utuh Muhammadiyah. Kedepannya sumbangsih terhadap persyarikatan akan terlihat lebih maksimal diberdayakan, dan yang lebih penting dari itu semua ialah tidak adanya ideologi “siluman” dalam tubuh Muhammadiyah.
Inilah realitas dari prespektif metode fenomologi dalam memberikan makna dan harapan, pada fenomena yang dialami oleh sekelompok individu maupun pribadinya, pada proses pengkaderan yang berjenjang dan komperhensif. Penerapan metode ini merupakan salah satu cara efektif dalam mengungkap dan menggali kesamaan makna tersebut, dengan harapan pesan dan tanda yang disampaikan fenomolog.