Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang kerap disebut RUU PKS adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang menjadi payung hukum untuk menangani kasus dan permasalahan seputar kekerasan seksual, seperti yang kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual merupakan suatu isu yang sangat mengkhawatirkan di tengah masyarakat tidak hanya bagi perempuan melainkan bagi laki-laki sekalipun,
oleh karena itu diperlukan sebuah jaminan hukum bagi warga negara agar mempunyai rasa aman terhindar dari setiap kekerasan seksual. Sejatinya RUU PKS ini telah digagas dan diusulkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 2012, namun Draf RUU PKS ini baru diusulkan kepada Badan Legislatif DPR pada tahun 2016.
Jika dilihat dari situs resmi DPR RI dalam draft RUU PKS, secara umum RUU PKS mencakup hal-hal yang berkaitan dengan korban kekerasan seksual seperti yang tertera dalam draft RUU PKS Pasal 4 ayat (1) yaitu, Penghapusan kekerasan seksual meliputi :
a.) Pencegahan,
b.) Penanganan,
c.) Perlindungan,
d.) Pemulihan Korban, dan
e.) Penindakan Pelaku
Dari pasal tersebut mengindikasikan tujuan dibentuknya RUU PKS adalah sebagai upaya untuk mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan dengan pidana demi keadilan, menjamin lingkungan bebas kekerasan seksual, dan berfokus untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan terdapat 348,446 kasus selama 2019. 50% kasus kekerasan seksual yang dilaporkan berakhir dengan jalur non-hukum termasuk mengawinkan korban. Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad juga mencatat kasus tindak kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas semakin meningkat sebesar 47 persen apabila dibandingkan tahun 2018. Korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.
Sementara, anggota Komnas Perempuan, Retty Ratnawati menilai tindak kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi ketika mereka menjalani relasi pacaran. Sebagian besar korban memiliki latar pendidikan paling tinggi SLTA.
"Kondisi ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi di usia seksual aktif sehingga perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam kebijakan pendidikan di Indonesia sangatlah dibutuhkan," ungkap Retty.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Oleh karena itu, ia menilai tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan RUU PKS yang bersifat lex specialist atau aturan hukum yang bersifat khusus.
Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020 oleh DPR membuat banyak pihak yang pro terhadap RUU PKS menyayangkan hal tersebut. Di tengah kondisi darurat kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini justru tidak diimbangi dengan niatan DPR untuk segera mengesahkan RUU ini, bahkan memutuskan untuk mengeluarkan RUU PKS dari prioritas pembahasan dengan alasan pembahasannya yang sangat sulit. Oleh karena itu banyak penolakan yang terjadi dan menuntut agar DPR memasukkan kembali RUU PKS ke dalam prolegnas pada tahun 2021 dan segera mengesahkannya maksimal pada tahun 2021.
Alasan mengapa RUU PKS ini muncul, karena pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan kelompok yang mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah memiliki undang-undang lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan maupun hubungan seksual.
Pengaturan yang ada dalam KUHP secara garis besar mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan pencabulan, padahal masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual di luar itu. Pengaturan yang ada pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban. Melalui RUU PKS-lah detail definisi kekerasan seksual yang kurang lengkap pada KUHP disempurnakan.