Kecemasan, dalam psikologi diartikan sebagai perasaan campuran antara ketakutan dan keprihatinan tentang masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut serta bersifat individual. Dalam kehidupan setiap individu, kecemasan merupakan salah satu gangguan yang hampir dialami oleh setiap manusia yang ada di dunia. Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan diluar ekspektasi menjadikan individu berada di kondisi untuk mengembangkan pola pikir yang tidak menyenangkan seperti berpikir dengan keraguan dan rasa takut atau khawatir. Dengan individu berada di kondisi seperti itu secara terus - menerus, individu dapat mengembangkan gangguan kecemasan. Kecemasan merupakan hal yang wajar dimiliki oleh setiap individu, tetapi apabila kecemasan tersebut berkembang dan menjadi berlebihan akan menganggu individu dalam beraktivitas di kehidupan sehari - harinya. Kecemasan dapat dialami oleh setiap kalangan umur, terutama pada usia remaja dan usia dewasa. Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala - gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Pada remaja, kecemasan merupakan hal yang rentan menyerang kehidupan remaja. Kecemasan tersebut dapat timbul oleh berbagai macam peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan remaja, seperti masalah akademik yaitu tugas-tugas yang menumpuk yang tidak memuaskan, masalah percintaan yaitu di putus pacar, masalah internal dalam keluarga, atau masalah mengenai masa depan yaitu keraguan dan kebingungan mengenai karir atau pernikahan. Tidak jarang remaja berpikir secara berlebihan mengenai permasalahan-permasalahan yang telah terjadi. Pemikiran akan kegagalan, kekhawatiran dan pemikiran negatif lainnya dapat terjadi pada remaja berdasarkan peristwa-peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi tidak sedikit juga remaja yang berpikiran positif atau beranggapan baik terhadap peristiwa - peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.
Menurut Nashori dan Mucharam (Siddik dan Uyun, 2017) religiusitas terdiri dari lima dimensi yaitu dimensi akidah, dimensi ibadah atau ritual, dimensi amal, dimensi ihsan, dan dimensi ilmu. Husnudzon merupakan salah satu contoh dalam dimensi ibadah yang memilki maksud sebagai mengambil anggapan dengan baik terhadap sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Al-Haakim bahwa memiliki prasangka yang baik terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan individu merupakan bagian dari beribadah kepada Allah SWT. Menurut Rusydi dengan memiliki pemikiran positif, individu terutama remaja dapat mengembangkan pola pikir optimis dan selanjutnya akan memunculkan semangat dalam beraktvitas, memiliki kepercayaan diri, pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupannya.
Husnudzon merupakan pola pikir yang penting untuk dimiliki oleh remaja dalam menghadapi kecemasan yang akan terjadi. Hasan Al-Bashri R.A berkata :
"Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif dari religiusitas terhadap kondisi psikologis yang negatif sepertitekanan psikologis dan stres secara umum. Mosher dan Handal (Kasberger, 2002) menemukan bahwa religiusitas yang rendah berkolaborasi dengan tingginya tingkat stres dan rendahnya tingkat kecemasan pada remaja. Selain itu, terapi perilakuan yang dikolaborasikan dengan salah satu unsur dalam agama yaitu bersyukur juga terbukti efektif dalam menurunkan kecemasan pada remaja (Mutia, Subandi, & Mulyati, 2010). Teknik kebersyukuran dalam penelitian tersebut mampu membuat remaja mengenal nikmat yang ada, mampu melihat segi positif pada setiap kejadian, dan beberapa subjek menjadi lebih rajin beribadah sebagai ekspresi kebersyukuran.
Kecemasan dapat dialami oleh seiap manusia. Menurut Atkinson kecemasan merupakan gambaran emosi yang tidak menyenangkan ditandai dengan rasa khawatir, keprihatinan, dan rasa takut yang terkadang dalam dan pada tingkat yang berbeda. Ada faktor yang menjadi penyebab timbul kecemasan diantaranya berasal dari luar maupun dalam diri manusia. Faktor luar yang dapat menimbulkan kecemasan seperti trauma fisik, tugas yang terus bertambah dalam hal pendidikan maupun pekerjaan, tuntutan yang tinggi dalam prestasi belajar, dan lain-lain. Sedangkan faktor dalam yang dapat menibulkan kecemasan seperti jenis kelamin dan usia. Menurut Blackburn dan Davidson, kecemasan secara teoretis dimulai dengan pertemuan individu dengan suatu stimulus yang berupa situasi berpengaruh dalam membentuk kecemasan, secara langsung atau tidak langsung hasil pengalaman tersebut diolah melalui proses kognitif dengan menggunakan skemata (pengetahuan yang telah dimiliki individu terhadap situasi tersebut yang sebenarnya mengancam atau tidak mengancam dan pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk mengendalikan diri dan situasi). Setiap pengetahuan dapat terbentuk dari keyakinan pendapat orang lain, maupun pendapat individu sendiri serta dunia luar. Pengetahuan tersebut tentunya akan mempengaruhi individu untuk dapat membuat penilaian atau hasil kognitif sehingga respons yang akan ditimbulkan tergantung seberapa baik individu yang mengenali situasi dan mengendalikan dirinya.
Faktor psikologis yang mempengaruhi kecemasan pada adalah tingkat harga diri yang rendah sehingga rentan terhadap cemas (Stuart, 2016). Faktor sosial seperti memiliki pengalaman buruk seperti pernah ditindas, kekerasan dalam keluarga, malu saat di depan publik dan orangtua yang terlalu overprotective pada anaknya dapat memicu kecemasan pada individu (National Institute for Health and Care Excellence, 2013). Menurut Stuart (2016) faktor predisposisidan presipitasi terjadinya kecemasa terdiri dari aspek biologis, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisiologis dari individu yang mempengaruhi terjadinya ansietas. Beberapa teori yang melatarbelakangi cara pandang faktor predisposisi biologis adalah teori genetik dan teori biologi. Teori genetik menekankan pada campurtangan komponen genetik terhadap berkembangnya perilaku ansietas. Sedangkan teori biologi lebih melihat struktur fisiologis yang meliputi fungsi saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf. Genetik dihasilkan dari fakta-fakta mendalam tentang komponen genetik yang berkontribusi terhadap perkembangan gangguan ansietas (Sadock & Sadock, 2020). Gen 5HTTP mempengaruhi bagaimana otak memproduksi serotonin (National Institute of Mental Health, 2016).Studi statistik mengindikasikan bahwa faktor gen dapat menyebabkan perbedaan 3-4% derajad ansietas yang di alami oleh seseorang (Shives, 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H