Bagi setiap orang kaca adalah sebuah benda yang tak terlalu penting, Fungsinya yang hanya digunakan sebagai pelengkap untuk menyisir rambut dan melihat betapa elok dirinya sendiri itu bisa digantikan dengan kamera depan yang dimiliki oleh sebuah handphone ataupun kaca yang selalu terpasang di toilet. Namun, tidak untuk Herman yang selalu membawa kaca setiap hari kemana pun dia pergi, bahkan dia rela untuk kembali ke rumah dan mengambil kaca bila dia lupa membawanya. Kaca adalah segalanya bagi Herman.
Kebiasaannya membawa kaca setiap hari, dimana pun dia berada di mulai sejak dia pertama kali bekerja di sebuah perusahaan terbesar di Jakarta. Kaca adalah tuntutan hidupnya yang bukan hanya untuk melihat dirinya sendiri, melainkan untuk melihat orang lain. Kaca adalah senjata Herman menjawab semua keraguan yang ditujukan kepadanya.
Di minggu pertamanya, Herman selalu menjadi perbincangan semua karyawan dari semua divisi yang bekerja di perusahaan tersebut. Ada yang berpandangan positif, tak sedikit pula yang berpandangan negatif. Ibarat kata, Herman menjadi trending topik yang sangat menarik untuk dibicarakan.
Ketampanannya, harum bau badannya yang maskulin, dan perangainya yang baik serta sopan terhadap semua orang adalah topik pembicaraan bagi mereka yang berpandangan positif. Nada bicara mereka pun menunjukkan betapa simpatinya mereka terhadap sosok karyawan baru tersebut. Bahkan, ada yang rela menceraikan suaminya demi mendapatkan Herman.
Bagi mereka yang tak suka dengan Herman. Mereka selalu memperbincangkan tentang posisi Herman sebagai Kepala Divisi yang baru, mengingat status pendidikan Herman yang hanya lulus SMA. Mulai dari simpanan bos, sampai suap menyuap menjadi sajian utama. Mereka pun tak segan-segan memperbincangkannya didepan Herman.
Sebagai Karyawan baru, Herman tak mampu berbuat apa-apa selain mendengar semua yang menjadi topik pembahasan mengenai dirinya tersebut. Dia pun menyadari posisinya sebagai Kepala Divisi memang berlebihan, bahkan sebelum dia ditunjuk sebagai Kepala Divisi, dia sudah meminta untuk menempati jabatan sebagai Office boy sesuai dengan status pendidikannya itu.
"Lama-lama saya nggak kuat kerja disitu." kata Herman yang sedang menghabiskan jam makan siangnya di sebuah warung makan dekat kantornya.
Jam makan siang adalah waktu yang paling ditunggu Herman, karena di jam tersebut dia bisa tersenyum bersama Asih, salah satu pelayan di warung makan langganannya. Tak hanya di hari kerja saja, hari libur pun Herman sering berkunjung ke Warung Makan tersebut tepat di jam makan siang. Tak ada yang mampu mengerti keadaannya selain Asih.
"Kenapa?" tanya Asih yang sedang mengambil beberpa sayur dan lauk untuk Herman.
"Banyak yang nggak suka, hampir setiap hari saya makan hati bekerja disitu, mendengar mereka-mereka yang selalu mempertanyakan tentang posisi saya, terutama Nurul, bawahan saya yang super cerewet itu, sindirannya itu tajam sekali, sepertinya saya ini adalah ancaman terbesarnya atau mungkin juga musuh bebuyutan."
"Enak dong setiap hari makan hati, ya sudah dijalani saja! kalau perlu kamu bawa kaca setiap hari lalu kasihkan si Nurul."