Lihat ke Halaman Asli

Rizky MustikaAmelia

Mahasiswi di STAI SADRA Jakarta Selatan

18 Tahun Bersama Seorang Wartawan Tangguh (Ayah), Kisah Perjalanan Literasi Puteri Seorang Jurnalis

Diperbarui: 26 Oktober 2024   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara mesin ketik typographer menggema memenuhi ruangan kerja ayah. Pagi-pagi sekali, aroma kopi Rinbo (Rinjani dan Tambora) khas Nusa Tenggara Barat mengebul dari cangkir cokelat kesayangan ayah. di sudut ruang kerja yang di tumpuki oleh banyak sekali lembaran koran dan juga majalah, sesosok pria dengan kemeja khas kotak-kotaknya tengan menekuni layar laptop, sesekali tangannya dengan cepat menggoreskan pena di notes cokelat yang selalu setia di sakunya. inilah pemandangan yang menemani 18 tahun kehidupanku. Tumbuh bersama wartawan yang mendedikasikan hidupnya pada kebenaran dan kata-kata. 

Warisan Pagi yang Berbeda

Pukul 4 pagi, ketika sebagian besar orang masih terlelap, rumah kami sudah hidup dengan ritme yang berbeda. Radio tua di sudut ruangan melantunkan berita-berita terkini, sementara ayah dengan teliti membaca koran-koran dari berbagai penerbit. "Wartawan harus update sebelum orang lain bangun," begitu prinsipnya yang selalu dia sampaikan sambil tersenyum.

Berbeda dengan teman-teman sekolahku yang sarapan di temani cerita-cerita ringan, sarapan rumah kami selalu diwarnai dengan isu-isu terkini. Dari kasus korupsi hingga prestasi anak bangsa, dari politik hingga kisah-kisah kemanusiaan, semua menjadi santapan pagi yang mengasah pikiran. 

Ruang Redaksi: Sekolah keduaku

Pembelajaran di balik meja berita kantor tempat ayah bekerja menjadi rumah kedua bagiku. Sejak kecil, ayah sering membawaku ke sana, memperkenalkanku pada dunia yang kemudian akan sangat mempengaruhi jalan hidupku. Ruang redaksi yang hiruk pikuk dengan detak keyboard dan disuksi hangat antar wartawan menjadi tempat belajar yang tak ternilai. 

"Di sini, Nak, berita dilahirkan," kata ayah suatu hari. "Tapi ingat, setiap berita punya tanggungjawab moral. Satu kata bisa mengubah hidup seseorang."

Mentor-mentor Tak Terduga

Di kantor ayah, saya bertemu dengan berbagai karakter yang menginspirasi. Ada pak Vino, fotografer senior yang mengajarkan bahwa satu gambar mbisa mewakili seribu kata. Pak Didik, kepala redaksi yang tajam dalam menganalisis setiap sudut berita. Pak Ketoh, wartawaninvestigasi yang tekun membongkar kasus-kasus besar. Mereka semua menjadi guru tidak langsung yang memperkaya perspektif saya tentang dunia tulis menulis.

Ketika Tugas Mengalahkan Momen Keluarga

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline