Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali Arya Wedakarna resmi diberhentikan oleh Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (BK DPD) dalam rapat paripurna yang berlangsung pada tanggal 2 Februari 2024 lalu. Dalam putusan BK DPD, Arya Wedakrana resmi dijatuhkan sanksi berat karena melanggar sumpah atau janji, kode etik dan tata tertib DPD RI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Keputusan BK DPD tersebut berasal dari aduan masyarakat dan laporan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, dimana Arya Wedakarna diduga menghina agama Islam saat melakukan kunjungan kerja di Bandara I Gusti Ngurah Rai.[1]
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Kedudukan DPD sebagai lembaga negara yang merupakan suatu perwujudan perwakilan daerah. DPD terdiri atas wakil-wakil di setiap provinsi yang dipilih melalui proses pemilihan umum. Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi tidak sama, namun ditetapkan paling banyak berjumlah 4 anggota. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga dari jumlah anggota DPRRI. Keanggotaan DPD ditetapkan dan diresmikan dengan Kuputusan Presiden. Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya, akan tetapi selama bersidang bertempat tinggal di ibu kota Jakarta. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun.[2]
DPD sebagai lembaga perwakilan daerah diatur dalam UU MD3, Pasal 249 UU MD3 mengatur mengenai wewenang dan tugas DPD yaitu sebagai berikut:
- mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
- ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
- menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
- memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
- dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
- menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
- menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
- memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
- menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam menjalankan tugasnya, DPD memiliki hak dan kewajiban yang diatur pula dalam Pasal 257 dan 258 UU MD3. Anggota DPD berhak: bertanya; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan keuangan dan administratif. Sementara kewajiban anggota DPD yaitu sebagai berikut:
- memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
- melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
- mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
- menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
- menaati tata tertib dan kode etik;
- menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
- menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
- memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Kewajiban tersebut berlaku bagi setiap anggota DPD RI. Berkaitan dengan kasus pemecatan Arya Wedakarna yang diduga karena menghina agama Islam sehingga dianggap melanggar sumpah atau janji, kode etik dan tata tertib DPD RI atas pernyataan ujaran kebencian dan penghinaan. Adapun penghinaan yang dimaksud terhadap suatu golongan rakyat Indonesia yaitu terhadap suku selain Bali, dan agama selain Hindu.[3] DPD sebagai lembaga negara memiliki kewenangan untuk menyusun kode etiknya sebagaimana dinyatakan Pasal 301 UU MD3. Leoh lanjut, kode etik tersebut tertuang dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Peraturan DPD 2/2018).
Peraturan ini dibentuk agar setiap dapat berpegang pada nilai moral dan kesusilaan baik di dalam maupun di luar pelaksanaan tugasnya sebagai wakil masyarakat dan daerah sehingga mampu bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, negara, daerah, masyarakat, dan konstituennya. Dugaan ujaran kebencian dan penghinaan tersebut bertentangan dengan Pasal 5 huruf u Peraturan DPD 2/2018 yang menyatakan bahwa:
"menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa untuk menghindari sektarianisme dan primodialisme serta isu suku, agama dan ras dalam pelaksanaan tugas dan wewenang";
Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Tata Tertib (Peraturan DPD 4/2017). Tata tertib tersebut bertujuan untuk melaksanakan fungsi, wewenang, tugas, hak Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, dan kewajiban anggota DPD. Selain itu, tata tertib tersebut juga sebagai upaya menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan ketatanegaraan Indonesia khususnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUUXIV/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017 untuk menjamin terlaksananya tugas DPD secara teratur, berkelanjutan, dan profesional demi menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas lembaga. Oleh karena itu, ujaran kebencian dan penghinaan merupakan hal yang fatal apalagi dilakukan oleh seorang pejabat negara.
Selain melanggar kode etik, Arya Wedakarna juga diduga melanggar sumpah atau janji sebagai anggota DPD. Sumpah atau janji yang diucapkan pada saat dilantik mengandung nilai yang sakral, dimana anggota DPD berjanji untuk "menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan". Sepenggal frasa sumpah atau janji yang terdapat dalam Pasal 254 UU MD3 tersebut mengandung nilai demokrasi dan kepentingan-kepentingan negara, daerah dan warga negara. Sehingga adanya dugaan ujaran kebencian dan penghinaan, merupakan hal yang serius dan menciderai sumpah atau janji yang diucapkan.
Berdasarkan Pasal 309 UU MD3, apabila anggota DPD melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD, maka pemberhentian dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih. Dalam hal ini Badan Kehormatan DPD memutuskan untuk memberhentikan Arya Wedakarna sebagai anggota DPD atas tindakan ujaran kebencian dan penghinaan, yang mana hal tersebut dapat mengancam runtuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan berpotensi meruntuhkan kehormatan DPD sebagai lembaga negara.
Sumber: