Presiden RI memegang kepercayaan dari rakyat untuk menyatakan kebenaran yakni menyelamatkan rakyat dari 'oknum' yang melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Beberapa hari ini, mata telinga dan pikiran rakyat Indonesia tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPK telah mengalami pembaharuan dengan persetujuan Rancangan Undang-undang (RUU) KPK.
UU KPK yang baru mendapatkan pertentangan dan dukungan. Hal ini secara tidak langsung seakan membuat rakyat terpecah dalam 2 (dua) pendapat . Namun UU KPK yang baru nantinya, akan lebih memenuhi prinsip check and balances dalam ketatanegaraan dan penegakan hukum yang pro justicia. Pihak yang keberatan tentu mengalami kekecewaan dan meluapkanya dalam bentuk unjuk rasa. Menyuarakan pendapat adalah hak asasi manusia (HAM) dan bagian dari pelaksanaaa demokrasi di Indonesia.
Jika ingin berunjuk rasa, berdemo-lah dengan tertib, tidak merusak fasilitas umum, jika ingin berpendapat melalui media surat kabar, berpendapatlah yang etis. Para pihak yang merasa bahwa UU KPK yang baru berisikan pelemahan KPK maka para pihak yang adalah Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak konstitusional untuk menguji Pasal-Pasal di UU KPK yang baru terhadap UUD 1945 ((judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Mahfud MD (2007) "dengan adanya MK, lembaga legislative tidak bisa lagi membuat UU secara serampangan baik karena kepentingan politik para anggotanya ataupun karena kelemahan pemahaman atas substansi dan prosedur-prosedurnya. KPK Yang Baru dan Check & Balances Apakah benar UU KPK yang baru melemahkan KPK?
Apakah revisi UU KPK adalah ilusi atau halusinasi dalam penguatan KPK? Atau sesungguhnya, ada rencana yang indah dibalik UU KPK yang baru yakni KPK yang ber-check and balances? Beberapa ketentuan penting dalam UU KPK yang baru yang diperguncingkan ialah pertama, pembentukan Dewan Pengawas; kedua, penyadapan oleh KPK harus melalui izin Dewan Pengawas; ketiga, eksistensi Surat Penghentian Penyidikan (SP3); keempat, menjadikan pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut hemat Penulis, KPK akan tetap kuat dan tetap pada spirit -- nya yakni memberantas korupsi baik dengan upaya preventif dan upaya represif. Pembaharuan UU KPK adalah semata-mata demi terwujudnya check and balances (CB). Check and Blances (CB) sangat penting dalam sistem pemerintahan dan khususnya sistem peradilan pidana (pidana umum ataupun pidana khusus).
CB bukan bertujuan untuk menghambat penegakan hukum di Indonesia melainkan CB memiliki manfaat untuk mencegah penyalagunaan wewenang (detourment de pouvoir) ataupun melampaui batas kewenangan yang dimilikinya (boven gezag). Dewan Pengawas dalam KPK nantinya adalah untuk mewujudkan CB tersebut.
Salah 2 (dua) tugas Dewan Pengawas nantinya ialah pertama, memberikan izin penyadapan dan penyitaan; kedua, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaa pelanggaran kode etik oleh Pimpinan KPK. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga tinggi Negara saja memiliki Dewan Etik untuk mengawasi Hakim-hakim MK.
Menurut hemat penulis, dibentuknya Dewan Pengawas MK adalah pertama, sebagai bentuk kontrol dari masyarakat, partisipasi masyarakat untuk melaporkan Pimpinan KPK jika diduga melanggar kode etik baik terkait dengan proses penanganan perkara tindak pidana korupsi maupun di luar penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Kedua, Izin penyadapan dari Dewan Pengawas adalah sebagai bentuk CB dari KPK dalam menghormati dan menjalankan Putusan MK tentang Penyadapan serta sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak privasi warga Negara mengingat hingga saat ini RUU Penyadapan juga masih belum disahkan.
Menurut hemat Penulis, rakyat tidak boleh pesimis dengan Dewan Pengawas, Dewan Pengawas juga tentu dipilih dengan syarat yang ketat, dan tentu yang dipilih bukan mereka yang menafikan pemidanaan bagi koruptor. Jika tidak ada Dewan Pengawas, siapa yang mengawasi KPK? Apakah cukup dengan hak angket?