Lihat ke Halaman Asli

Rizky Karo Karo

Profil Singkat

Melestarikan Adat Karo di Kota Metropolitan Jakarta

Diperbarui: 23 April 2016   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melestarikan Adat Karo di Kota Metropolitan Jakarta

Jakarta adalah salah satu kota metropolitan dengan segala permasalahan, dan kelebihannya. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan dan dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa.

Tulisan ini saya buat dari hasil perenungan saya di pesta pernikahan abang dan kakak saya, Marga Karo Karo Surbakti dan Beru Tarigan, sampai tulisan ini dibuat (12.07am), saya masih memperhatikan dan kagum karena suku, etnis saya masih melestarikan adat istiadatnya.

[caption caption="Sedang memberikan petuah"][/caption]Saya tidak akan menjelaskan siapa itu suku Karo, sejarahnya karena jujur saya sendiri tidak begitu paham, namun pembaca dapat mencari di google, wikipedia, web kab.karo ataupun perpustakaan. Namun ini saya kutip sedikit dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Karo 

Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di kabupaten karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

Diatas saya mengatakan kagum, mengapa? Karena pada awalnya saya pesimis bahwa masyarakat yang urbanisasi, apalagi pindah ke kota besar akan melupakan adat istiadatnya. Namun hal itu untungnya tidak terjadi. Menurut saya, hal tersebut dapat terjadi jika:

1. Masyarakat Karo, pendatang di Jakarta tidak mau kumpul dengan sesama sukunya, baik di acara keagamaan, acara pernikahan, kematian, arisan. Hal ini memang kembali ke pribadi masing-masing orang itu, tapi saya yakin dia akan rindu/keleng dengan nuansa Karo.

2. Malu. Masalah rasa malu ini saya hanya berasumsi, karena misalnya ada masyarakat yang baru pindah, belum mendapatkan penghasilan yang tetap, atau merasa malu dengan orang orang yang sudah duluan datang ke Jakarta, mungkin malu dikatan 'ndeso'.

Dalam foto itu, itu adalah salah satu bentuk masyarakat Karo tetap menjaga adat istiada mereka di kota metropolitan ini. Jakarta dikenal salah satunya sebagai kota individualistik, namun hal itu dipatahkan oleh salah satunya masyarakat Karo. Pada mulanya masyarakat Karo terkenal dengan sistem kekerabatannya yang erat, buat mereka keluarga nuclear/inti, dan keluarga adalah nomor satu. Mereka akan rela rela jauh jauh datang, cuti dari pekerjaan, izin sebentar dari kantor untuk datang dalam acara adat keluarga Karo 

Dalam foto itu, juga terlihat bahwa masyarakat Karo juga mengikuti perkembangan zaman namun tidak melupakan adat istiadatnya. Misalnya, mereka memadukan nuansa modern di baju adat mereka, misalnya dengan menggunakan jas.

Dalam foto itu, sedang diberlangsungkan pernikahan dengan impal. Menikah dengan impal adalah hal yang sangat didambakan dan dibanggakan oleh keluarga besar. Namun jika tidak bisa, maka bisa 'diimpalkan'. Ya itulah uniknya, penulis akan mengutip sedikit tentang pernikahan karo dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_adat_Karo "Erdemu bayu adalah suatu pernikahan antara laki-laki dengan perempuan yang erimpal."

Mungkin itu dulu saja dari saya karena telah tiba jam makan siang/man ciger di pesta pernikahan ini.

Bujur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline