Lihat ke Halaman Asli

Operasi Zebra, Surat Tilang, dan Uang Hilang: Sebuah Opini Pengendara

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14185349161453404049

[caption id="attachment_382506" align="aligncenter" width="300" caption="suasana antrian sidang tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (12/12/2014)"][/caption]

(Rizky Ibrahim Isra,14/12/2014)Berakhirlah sudah Operasi Zebra. Operasi yang melibatkan aparat penegak hukum di jalanan yaitu Polisi Lalu Lintas tersebut telah berhasil menindak pelanggar lalu lintas. Dalam operasi selama 26 November-9 Desember, polisi memberikan surat bukti pelanggaran (tilang) kepada 80.960 pengemudi. Pelanggar terbanyak setelah pesepeda motor adalah 5.743 pengemudi mobil pribadi, 3.247 taksi, 1.544 bus, dan 1.060 metromini (Kompas 10/12/2014).Terlihat jelas bahwa banyak sekali pelanggar lalu lintas yang ada di Indonesia. alasan pelanggarannya pun bermacam macam, mulai dari tidak menyalakan lampu di siang hari pada sepeda motor, tidak menggunakan helm, salah menafsirkan rambu, hingga masuk menerobos jalur busway.

Ya saya akui para pengguna kendaraan di Jakarta memerlukan sebuah teguran atau efek jera agar tidak terjadi pelanggaran ulang. Namun sadarkah kalian wahai para penegak hukum di jalanan, para pelindung masyarakat yang katanya ‘melayani dengan hati’? sadarkah bahwa apa yang kalian lakukan sama sekali tidak membuat kami para pengguna kendaraan jera, sama sekali tidak. Operasi ini malah semakin membuat institusi kepolisian semakin tidak dihormati di masyarakat. Bahkan lebih buruknya lagi, para polisi lalu lintas sudah tidak memiliki kehormatan sama sekali. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kalian menyiksa kami.

Tepat seminggu yang lalu, saya terkena operasi Zebra, saya salah menafsirkan rambu karena di Mampang, dari arah slipi menuju cawang, dilarang untuk lurus pada pukul 06.00-10.00. dan saya berjalan lurus pada pukul 09.34. saya pun langsung diberhentikan oleh polisi yang bertugas disana. saya menyadari bahwa saya salah dan saya meminta maaf kepada polisi tersebut, tapi hukum tetaplah hukum. Saya pun menerima surat tilang dan SIM C saya pun disita. Saya tidak keberatan akan hal itu, saya lebih baik ditilang daripada saya harus membayar ‘uang damai’ kepada petugas.

Seminggu kemudian, tepatnya hari Jumat, 12 November 2014 pukul 13,00. Saya berniat untuk menghadiri sidang di pengadilan negeri 1A Jakarta selatan yang berlokasi di Jalan Ampera. Beberapa ratus meter sebelum sampai di lokasi pengadilan, kemacetan panjang terjadi. Saya mengira mungkin hanya karena ada angkutan umum yang mogok atau kecelakaan. Tapi ternyata kemacetan tersebut berasal dari kendaraan kendaraan yang terparkir di sekitar pengadilan. Mereka semua merupakan korban Operasi Zebra juga ternyata.

Setelah saya parkirkan motor saya, saya segera menuju kedalama pengadilan. Sepanjang saya berjalan kaki menuju pengadilan, saya melihat banyak sekali calo yang menjajakan jasanya agar ‘cepat’ pengurusannya. Orang pun berkumpul dengan calo tersebut dan mereka memberikan surat tilang mereka kepada calo tersebut dan calo tersebut dengan cekatan segera masuk ke dalam pengadilan. Dalam diri saya, saya berkata bahwa “mengapa masih ada saja orang yang menggunakan jasa calo, padahal mereka bisa mengurusnya sendiri”. Namun ternyata perkataan diri saya kepada diri saya sendiri sewaktu berjalan pun saya tarik kembali. Saya melihat antrian yang begitu panjang sekali.

Dengan sebuah loket yang terpencil di pojok kiri pengadilan, atap yang bolong sehingga saat hujan kami pun kehujanan, lalu tidak ada paling tidak kipas angin agar terdapat sirkulasi udara. Sebuah bentuk pelayanan publik yang bisa saya katakan sangat buruk. Orang orang mengantri begitu panjang. Pembicaraan pembicaraan disekitar saya pun terdengar. ‘saya sudah mengantri dari jam 10, ini sudah jam 3 tapi saya saja belum dipanggil panggil’. Tersentak dalam hati saya bahwa ini keterlaluan. Dengan kondisi gerah dan hujan, orang orang ini menunggu untuk menghadiri sidang selayaknya warga negara yang taat pada hukum, namun negara sama sekali tidak menghargai warganya yang taat pada hukum tersebut. Kalau seperti ini caranya, ya jelas saja masyarakat semakin hilang hormat pada institusi hukum di negara ini. kami diperlakukan seolah pelanggar yang memang sepantasnya diberikan pelayanan seperti itu. Disiksa dengan penuhnya antrian, desak desakan, tempat yang kumuh. Ya apalagi yang pantas kita dapatkan agar kita jera. Ini semua malah membuat kita jera untuk menyelesaikan perkara kita ke pengadilan.

Adalah menjadi hal yang wajar ketika orang orang yang ditilang memilih untuk memberikan uang damai kepada polisi. Atau adalah hal yang wajar ketika menghadiri sidang, namun menggunakan calo . sebuah kesia-siaan pun terjadi di sini saat terdapat tulisan ‘hindari penggunaan calo’ di berbagai sudut di pengadilan. Hey sadarkah kalian bahwa kalian sendiri yang memaksa kami menggunakan calo? Harus berapa lama kami menunggu sidang ini agar kami bisa memperoleh sebuah SIM yang pada awal kami buat juga harus menggunakan ‘calo’ agar cepat dapat, dan langsung lulus? Sistem pelayanan publik yang sama sekali tidak manusiawi, itu alasan kami. Untuk apa kalian membuat mekanisme operasi zebra kalau kalian tidak siap melayani para korban operasi zebra tersebut. Apa operasi ini hanya merupakan ajang untuk menghabiskan kertas tilang kalian? Atau bahkan ini adalah ajang untuk mencari sebanyak banyaknya ‘uang damai’ agar bisa kalian gunakan di akhir tahun sebagai THR? Lantas harus berapa lama kami disiksa  oleh sistem seperti ini? Dimanakah saya berada ya Tuhan? Saya harus apa? Saya hanya masyarakat sipil tak berdaya yang berada di sebuah negeri dengan sistem yang begitu busuk, korup, dan penuh kemunafikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline