Tulisan ini berawal dari kegelisahan penulis menyikapi fenomena "absurd" perpolitikan dan pemerintahan yang sedang kita alami sekarang, menjelang pemilhan umum tahun 2019 yang akan datang kita disuguhi oleh pertunjukan kegagalan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.
Setidaknya ada 3 alasan mengapa penulis mengambil tema pemilu 2019 sebagai bukti kegagalan kaderisasi oleh partai politik pertama, poros politik yang ada sekarang hampir sama dengan apa yang terjadi pada pilpres 2014, lalu yang kedua banyaknya partai politik yang mencalonkan publik figure (artis) sebagai calon legislatif serta yang ketiga penolakan partai politik terhadap kebijakan PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislator.
Poros Jokowi VS Prabowo (lagi)
Pemilihan umum yang telah kita lakukan waktu lalu merupakan ulangan pertarungan antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang terjadi pada pemilu 2014 yang lalu, saat ini koalisi pro pemerintah telah beranggotakan 9 partai yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP serta 3 partai non parlemen Perindo, PSI dan PKPI.
Sementara pihak oposisi telah diisi oleh Gerindra, PKS, Demokrat serta PAN bersama pihak oposisi. Poros politik yang terjadi sekarang menggambarkan ketidak berhasilan memunculkan tokoh yang mampu bersaing dengan Presiden Jokowi dan Prabowo, sempat ada wacana untuk memunculkan poros ketiga antara Demokrat, PAN dan PKB namun ternyata poros ketiga hanya menjadi wacana forever diantara ketiganya.
Partai politik tradisional seperti Golkar dan PKB cenderung "bermain" aman untuk mendukung Presiden Jokowi, paling banter mereka hanya berharap posisi cawapres untuk ketua umum mereka Airlangga Hartato dan Muhaimin Iskandar.
Sebenarnya, terjadinya 2 poros politik besar ini sudah dapat diperkirakan semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang didalamnya memuat peraturan Presidensial Threshold 20 persen suara parpol di DPR sebagai syarat pencalonan calon Presiden dan wakil Presiden.
Syarat Presidensial Threshold 20 persen ini tentunya menyulitkan partai politik untuk memunculkan calon Presiden alternatif selain Jokowi dan Prabowo, tetapi bukankah yang mengesahkan peraturan tersebut adalah anggota DPR yang terhormat? Sekali lagi ini merupakan bukti kegagalan kaderisasi yang baik oleh partai politik.
Poros yang berhadapan langsung membuat friksi dan polarisasi hari ini terjadi begitu jelas di tengah masyarakat, masyarakat seakan terbelah menjadi dua pihak yang bertentangan. Pertentangan yang terjadi hari ini tidak jarang berbentuk hal-hal negatif seperti intimidasi, sentimen SARA, saling menghina satu sama lain bahkan tindakan kekerasan.
Fenomena Artis Menjadi Caleg
Pendaftaran bakal calon anggota legislatif untuk pemilu legislatif tahun depan telah ditutup pada selasa, 17 Juli yang lalu sebanyak 16 parpol peserta pemilu legislatif 2019 telah menyetor nama-nama bakal calon anggota legislatif kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan berebut kursi panas DPR tahun depan.
Diantara nama-nama yang diajukan oleh parpol sebagai bacaleg, muncul nama-nama artis pesohor yang sering menghiasi layar TV di rumah kita, dari 54 orang bacaleg dari kalangan artis partai Nasdem yang paling banyak menjadi "kendaraan" bagi bacaleg tersebut dengan mengusung 27 kader dari kalangan artis.
Proses menjadi caleg para artis ini juga sempat memunculkan spekulasi tentang beredarnya politik uang dibalik pengusungan mereka menjadi caleg, hal ini disebabkan karena banyaknya artis yang berpindah haluan parpol untuk menjadi calon legislator disertai mahar didalamnya.