Lihat ke Halaman Asli

Rizky Hadi

Anak manusia yang biasa saja.

Kereta Api dan Fleksibilitas Penumpangnya

Diperbarui: 8 Maret 2022   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edited from Canva

Kemarin untuk pertama kalinya setelah tiga tahun yang lalu saya naik kereta api. Tujuan saya ialah Surabaya. Tepatnya di salah satu kampus terbesar di kota tersebut untuk menemui salah seorang, urusan riset untuk sebuah tulisan.

Terakhir saya naik kereta api tiga tahun lalu untuk tujuan ziarah ke makam Sunan Ampel Surabaya. Situasinya sangat berbeda sekali. Tiga tahun lalu untuk urusan pesan tiket saja masih menggunakan tiket kertas. Pemesanannya pun minimal harus H-7 keberangkatan dan itu harus antre cukup panjang.

Sekarang serba dimudahkan. Tiket sudah elektronik. Pesan dan bayar tinggal klik sana-sini. Tak perlu repot-repot ke stasiun dulu untuk demi sebuah tiket. Sebelum naik ke kereta api pun cukup menunjukkan barcode tiket. Urusan selesai.

Di dalam kereta api juga jauh berbeda situasinya. Tiga tahun lalu semua kursi terisi penuh. Bahkan ada penumpang yang harus rela berdiri. Bayangkan bagaimana lelahnya berdiri di dalam kereta. Turun dari kereta pasti mrongkol tuh betisnya.

Sekarang karena masih suasana percovidan, semua harus jaga jarak. Biasanya kursi saling hadap kereta api yang biasa diisi empat orang, kini hanya boleh diisi dua orang saja.

Satu hal yang saya kecewa akibat percovidan ini mengenai kereta api. Pembatasan penumpang. Salah satu kesenangan saya naik kereta api ialah bisa berinteraksi dengan penumpang lain dalam satu bangku. Kita bisa mengenal orang baru, berbincang lama, bertukar informasi. Terkadang saling tukar makanan. Itu sangat menyenangkan.

Para penumpang kereta api sebelum percovidan juga seru-seru. Anak-anak pasti jalan-jalan ke bangku penumpang. Kita bisa menggodanya. Kalau ada penumpang lansia atau ibu-ibu yang menggendong anaknya, pasti ada saja penumpang dengan sukarela memberikan tempat duduknya. Saling bantu membantu dan menghormati. Satu gerbong rasanya seperti keluarga semua. Senang melihatnya.

Berbeda sejak wabah covid merebak. Penumpang rasanya asing. Tidak ada suara dan percakapan. Bahkan untuk melihat wajah penumpang lain tidak bisa karena tertutup masker. Jadilah di dalam kereta hanya diam-diaman seperti sepasang kekasih yang saling bermusuhan. Di dalam gerbong rasanya seperti di tengah-tengah kuburan. Sepi mampri. Penumpangnya lebih sibuk dengan ponselnya sendiri-sendiri dengan headset yang terpasang di telinga.

Untuk sekedar menyapa pun menjadi canggung rasanya. Kemarin saya mencoba menegur penumpang yang ada di depan saya. Jawabannya pun hanya singkat-singkat. Tidak seru. Harapan untuk memperpanjang percakapan menjadi sirna.

Kereta api dikenal dengan penumpangnya yang humanis dan ramai. Tapi itu dulu. ketika banyak orang tua yang naik kereta api. Kini walau penumpangnya rata-rata masih pemuda semua, tidak terlalu menyenangkan. Saya pun juga masih muda. Tapi saya naik kereta api ingin percakapan ketika menunggu stasiun tujuan. Sebuah pengalaman yang menyenangkan jika di dalam kereta api bisa mengenal orang baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline