Lihat ke Halaman Asli

Rizky Hadi

Anak manusia yang biasa saja.

Kos Sastra: Lebih dari Sekadar Tempat Singgah

Diperbarui: 2 Maret 2022   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edited from Canva / dokpri

Selepas isya' satu per satu dari mereka datang. Tangan kosong. Hanya membawa bahan guyonan dan raga belaka. Terkadang kalau pusarnya sedang bolong, mereka membawa barang satu dua makanan ringan: gorengan, roti, buah markisa. Itu pun pasti langsung habis dalam kejapan mata.

Tempat yang mereka tuju yakni hanya satu: mereka menyebutnya sebagai kos-kosan sastra. Eits, jangan membayangkan segala sesuatu dari namanya. Karena ini bukan kos-kosan yang biasa ditemui di area kampus atau tempat ramai lainnya. Jangan juga membayangkan kata "kos" yang setiap bulannya harus membayar uang sewa. Tidak ada plakat "kos" yang tertera di depan. 

Kata kos-kosan hanya sebuah istilah. Yang mereka sebut kosan sastra tidak lebih dari sekadar rumah sederhana dengan satu kamarnya berisi buku-buku bacaan: lebih banyak novel.

Mereka menyebut kosan sastra karena ya di sinilah tempat mereka nongkrong. Seperti kos-kosan katanya. Mereka bisa tidur semaunya, ngopi sepuasnya, tertawa sekencangnya, nobar sepakbola sebisanya, dan baca buku sesenggangnya. Penghuni rumahnya hanya tinggal dengan neneknya. Dan itu adalah tempat tinggal saya.

Biasanya setelah datang, mereka mengambil kegiatannya sendiri-sendiri. Ada yang membaca buku dan main game sampai kesal karena kalah terus. 

Kalau sedang mengerjakan tugas kuliah lantas tak menemukan jawaban, pasti di antara mereka meradang seperti melihat mantan jalan dengan yang lain Satu laptop dipakai banyak manusia.

Sekarang masih mendingan ada dua laptop yang mengakomodasi keperluan kuliah orang-orang ini. Dulu hanya pakai satu laptop. Jadi, kalau ingin mengerjakan tugas kuliah harus antre seperti di wc umum.

Penghuni "kosan sastra" ini berasal dari jurusan berbeda-beda. Mulai dari Pendidikan Bahasa Inggris, Pariwisata, Sejarah Peradaban, hingga Manajemen Bisnis. Ada juga yang bekerja serabutan. Beragam seperti di ragunan.

Kegiatan individualis mereka ini paling hanya bertahan sekitar satu jam. Selepas itu sudah pada bosan. Kalau sudah seperti ini mereka biasanya memutar musik dan bernyanyi tidak jelas. 

Dari sekian banyaknya manusia di tempat ini, tidak ada satu pun suaranya yang lulus sensor. Hancur semua. Namun mereka senang-senang saja dan kelewat percaya diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline