Setelah lima tahun berkolaborasi dengan Fahed -- temannya, untuk mendirikan toko buku, Dude memutuskan resign dan berniat merintis usaha di bidang yang sama di kotanya sendiri. Satu alasan yang menguatkan keputusan Dude ialah dia melihat di tanah kelahirannya sangat jarang keberadaan toko buku. Padahal itu menjadi komponen penting untuk membuka jendela dunia.
Awalnya Fahed sempat mempertanyakan keputusan Dude yang cenderung terburu-buru. Fahed juga memberikan opsi kepada Dude untuk membuka cabang di kotanya, toh usaha Dude mendatang juga bergerak di bidang yang sama. Tetapi usulan Fahed ditolak oleh Dude. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tidak ingin merepotkan temannya, lebih dari itu dia ingin menjadi pemilik tunggal usahanya nanti.
Walaupun berat hati, tetapi Fahed harus merelakan patner kerjanya berpindah tempat. Dude memang keras kepala soal pekerjaan, satu keputusan yang sudah dibuatnya tidak dapat dibendung oleh siapa pun. Fahed paham benar soal itu.
Di kontrakan yang tidak terlalu besar, Dude mengemasi barang-barangnya. Dia memasukkan pakaian di dalam koper, merapikan berkas-berkas penting yang akan turut dibawanya nanti. Beberapa berkas tersebut berisi konsep yang akan digunakan untuk toko bukunya nanti. Setelah semua beres, dia mengambil ponsel, memesan transportasi online yang rencananya akan mengantarkan ke stasiun.
Seusai lengang, ketika Dude hendak meninggalkan kamar, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah buku catatan berwarna hitam berukuran A6 yang luput di rak paling bawah. Dia mengambilnya, meniup debu yang menyelimuti buku itu. Di sampul buku bertuliskan 'Diari Dude'. Dia sejenak terpaku, tak lekas menutup pintu. Buku catatan yang ditemukan mengalihkan perhatiannya. Dia pandangi diari itu, mencoba mengingat kembali.
"Ini kan diari yang kutulis tujuh tahun lalu sewaktu masih kuliah," kata Dude pelan.
Dude menghela napas kemudian duduk di atas dipan, membuka kembali diarinya sembari menunggu jemputan. Lembar demi lembar di bolak-balik. Dia senyum-senyum sendiri membaca catatannya dulu. Dia melanjutkan ke halaman berikutnya, bola matanya terpusat pada catatan beberapa tahun lalu.
***
14 Februari 2013
Kalau ada yang bilang hari Valentine adalah hari kasih sayang, itu adalah omongan pembual yang tengah mabuk. Kalau ada yang bilang hari Valentine bisa merekatkan sebuah hubungan, itu adalah omongan pujangga yang haus akan cinta. Pembual dan pujangga memang tidak ada bedanya.
Hubunganku dengan Saskia telah menginjak dua tahun. Aku sangat menyayanginya sejak kami menjadi rekan dalam sebuah tugas penelitian. Mata yang bulat bersinar, senyum manis, rambut lurus terurai. Itu semua dibingkai dalam persona cantik yang selalu dibawanya