Lihat ke Halaman Asli

Rizky Hadi

Anak manusia yang biasa saja.

Cerpen | Esok Kan Bahagia

Diperbarui: 31 Desember 2020   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Basah, tubuhku dingin diguyur hujan deras. Langit yang biasanya menampakkan diri dengan indah berubah dipenuhi awan pekat menakutkan. Menjatuhkan bulir-bulir air tanpa henti, membawa semburat cahaya putih. Aku menerjang lebatnya hujan. Teringat akan adikku yang mungkin sedang jatuh dalam mimpi.

Setelah memasuki gerbang kampus, memarkir motor. Seketika hujan turun. Aku tinggalkan perkuliahan yang akan dimulai. Sempat ditahan oleh teman-teman, kuabaikan. Aku harus segera pulang, apa pun kondisinya. Tak ada yang lebih penting dari adik perempuan kecilku. Adikku takut dengan suara petir. Dan dia butuh pelindung untuk memeluk tubuhnya yang mungil.

Lima belas menit aku sampai pada sebuah rumah yang menjadi tempat berteduh bagi kami sekeluarga. Segera aku tancapkan kunci dan kukuakkan pintu tergesa-gesa. Langsung menuju kamar adikku, mendapatinya lepas dari tidur. Aku peluk dia dengan sangat erat. Petir menampakkan suaranya sesekali.

Adikku bernama Ilya, baru berusia empat tahun. Ilya hanya satu pekan merasakan kasih sayang seorang Ayah. Itu pun mungkin Ilya sudah tak mengingatnya. Ayah meninggal seminggu setelah Ibu melahirkan Ilya karena penyakit jantung yang dideranya. Untungnya Ilya tumbuh menjadi anak mandiri, setiap hari dia harus ditinggal Ibu pergi bekerja dan aku sibuk dengan aktifitas perkuliahan.

***

Dua jam berlalu, dengan hujan yang masih enggan untuk mereda. Gemuruh suara petir, Ilya semakin erat memelukku, menutupi lingkar telinganya. Entah mengapa hujan kali ini membuat perasaanku semakin tidak enak. Ada sesuatu yang sangat aku khawatirkan. Aku memandang jauh ke luar jendela, Ilya masih dalam dekapanku. Berharap sesuatu tidak datang.

Hujan masih dengan intensitas tinggi tetapi suara petir tak terdengar lagi. Ilya membangunkanku dari lamunan. Memintaku untuk membacakan cerita kesukaannya: 'Petualangan Bippo'. Aku ajak Ilya beringsut dari kamar menuju ruang tamu. Aku mulai membaca, dimulai dengan Bippo yang telat bangun tidur. Mata Ilya terlihat bergairah, memandangiku lekat-lekat. Tetapi semakin lama aku membaca, perasaanku semakin tidak nyaman.

 Beberapa saat kemudian, aku dikejutkan ketika melihat orang-orang berhamburan ke luar rumah. Membawa tas dan berlari. Ada yang naik kendaraan dengan kencang. Wajah-wajah kepanikan. Apakah kekhawatiranku akan menjadi kenyataan? Aku harap tidak.

Namun, harapanku pupus. Air mulai masuk, merangsek melalui celah bawah pintu. Menggenang secara perlahan. Sontak aku langsung mengemasi barang seadanya, tak lupa pakaian kami bertiga. Kulihat kerumunan orang tunggang-langgang. Salah seorang berteriak dari kejauhan, "Tanggul jebol!"

Di depan, aku mengaitkan tas di kedua pundakku. Di belakang, Ilya dalam cengkeraman kuat. Hujan masih lebat. Tetapi aku masih memiliki satu asa sekarang. Di antara banyaknya orang berhamburan dan air mulai meninggi, aku berharap kedatangan Ibu. Begitu pun dengan Ilya, dia menangis mencari Ibu. Orang-orang terus memintaku untuk meninggalkan tempat segera. Sementara Ilya masih merengek, menanyakan Ibu. Sebuah tindakan harus diambil. Menunggu Ibu datang atau terjebak bersama adik kesayanganku.

Mungkin sedikit terlambat. Aku naik ke motor diikuti Ilya yang masih terikat dengan tangisan. Aku menyuruh Ilya berpegangan kuat. Semoga motor tuaku kuat menerjang air yang sudah naik setinggi mata kaki. Orang-orang sudah jauh meninggalkan. Menyisakan kami berdua dan beberapa orang lagi yang masih berusaha menyelamatkan sandangannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline