Lihat ke Halaman Asli

Rizky Febriana

TERVERIFIKASI

Analyst

Ribut-ribut Soal Subsidi

Diperbarui: 23 Januari 2020   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Foto via Tribun Makassar)

24-27 Mei 2011, waktu masih kuliah di Jogja, selama 4 (empat) hari, salah satu teman yang menjadi asisten dosen di kampus mengajak saya jadi surveyor lapangan.

Saya bilang saya siap. Ya lumayan waktu itu ada honor "receh-receh" buat makan nasi kucing di angkringan. Tugas saya cukup sederhana, melakukan spot check program nasional pemerintah pusat, Program Keluarga Harapan ("PKH").

PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan uang tunai langsung kepada Rumah Tangga Sangat Miskin ("RTSM") dengan syarat (conditional cash transfer) dapat memenuhi kewajiban terkait pendidikan dan kesehatan.

Bantuan PKH itu diserahkan kepada kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) yang disebut Pengurus Keluarga. Wanita menurut penelitian lebih mampu mengelola keuangan keluarga.

Penerima PKH juga punya semacam kewajiban (Key Performance Indicators). Waktu itu syaratnya seperti penerima PKH diwajibkan membawa anaknya yang Balita ke posyandu secara rutin setiap bulannya, jika ada Ibu Hamil atau nifas juga harus diperiksakan ke Puskesmas.

Penerima PKH yang memiliki anak hingga usia 7 sampai 15 tahun harus memenuhi absen minimal 85% di sekolahnya. Kalau ada kewajiban yang tidak dipenuhi, maka ada semacam punishment dengan pemotongan nilai rupiah yang diterima.

Sedetail itu program ini dirancang supaya bantuan sejalan dengan tujuan yaitu adanya peningkatan akses pendidikan dan kesehatan bagi keluarga RTSM. Dengan perbaikan pendidikan dan jaminan kesehatan, dalam jangka panjang diharapkan predikat miskin dapat dientaskan.

Waktu itu, kebetulan saya kebagian spot check program di wilayah Bantul, Yogyakarta. Menelusuri rumah RTSM penerima PKH adalah pengalaman baru apalagi sebagai mahasiswa yang terkadang hidupnya tinggal di "menara gading". 

Saya merasakan mereka yang menjadi miskin saja menderita apalagi menjadi sangat miskin, pasti lebih menderita.

Dinding rumah gedek, dari bambu. Rumah beralaskan tanah, tidak ada keramik. Tidak ada kulkas dan mesin cuci. Kalau mau nonton televisi sepertinya harus menumpang tetangga.

Tidak ada sesuatu yang mewah. Tidak ada sesuatu yang branded. Tidak ada update status, tidak ada instastory. Entah bagaimana cara orang miskin dan sangat miskin menghibur diri apalagi menghibur keluarganya? Benarkah bahagia itu sederhana bagi mereka? Entahlah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline