Lihat ke Halaman Asli

Rizky Febriana

TERVERIFIKASI

Analyst

Hidup Mati Industri Bauksit di Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “In the long run, we are all dead.” Dalam jangka panjang kita akan mati. Kata John Maynard Keynes, salah satu ekonom dunia. Kalimat itu semacam menjadi legalisasi tentang pentingnya government intervention dalam perekonomian, konteks sejarah kalimat itu mungkin berbeda, tapi coba penulis pinjam istilah itu untuk sedikit menjelaskan kenapa perlu adanya peran pemerintah, termasuk di dalam industri bauksit.

Bauksit itu hasil sumber daya alam. Seharusnya bauksit itu bisa dinikmati oleh siapapun penambangnya, tidak perlu diatur oleh pemerintah siapa-siapa yang boleh diberikan izin usaha pertambangan (IUP). Tetapi tidak begitu logikanya. Pemerintah boleh mengatur. Saya jadi ingat pelajaran ekonomi lingkungan yang namanya sumber daya alam itu hakikatnya adalah common goods, barang publik, siapapun boleh menikmati. Namun karena ada unsur persaingan di dalamnya, dan untuk menghindari yang namanya the tragedy of the commons, tragedi kepemilikan bersama, maka perlu ada aturan mainnya, harus ada semacam legal aspect. Tentu the rules of the game yang menyusun pemerintah.       

Pemerintah akan memberikan konsesi tambang kepada siapa-siapa pelaku usaha yang dinilai mampu, termasuk mampu meminimalisir dampak lingkungannya. Makannya gak heran setiap proses perizinan bisnis apapun, salah satunya harus ada kajian Amdal (analisis dampak lingkungan). Coba seandainya saja semua pihak bebas menambang semua sumber daya alam, tanpa ada aturan main yang jelas, selain bisa saja berujung bentrok antar penambang (the tragedy of the commons) maka dampak-dampak negatif atau anak ekonomi biasa menyebutnya dengan istilah eksternalitas negatif akibat proses penambangan tidak dapat diminimalisir.

Dalam konteks industri bauksit, maka penulis lebih cenderung setuju dengan aturan main yang ada, apalagi sudah di Undang-Undangkan melalui UU No  4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam konteks bernegara, yang perlu dipahami di awal adalah UU itu telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif yang notabene wakil rakyat. Ada paradigma sustainability growth dalam UU Minerba.

Apa yang menjadi ‘nafas’ UU itu sehingga bisa lahir dan disahkan? Saya coba mengutip tulisan Faisal Basri di Kompasiana 21 Januari 2014 yang berjudul Sesat Pikir Tambang: Sedemikian Bodohkah Kita. Inti yang saya tangkap dari tulisan itu adalah adanya tren ekspor bauksit yang terus mengalami peningkatan namun Indonesia tidak memiliki fasilitas pengolahan sendiri atau smelter? Padahal seandainya itu diolah di dalam negeri, maka industri alumunium dalam negeri tidak perlu impor dari luar negeri karena bauksit yang menjadi alumina bisa diolah sendiri menjadi alumunium di negeri sendiri.  

Mengutip data wikipedia, beberapa negara penghasil bauksit juga memiliki smelter alumina dimasing-masing negaranya sebut saja China, Australia, Brazil, Amerika Serikat, India, Jerman juga Venezuela. Sementara menurut data tersebut, Indonesia baru memiliki satu eksisting smelter, itupun bukan alumina refinery melainkan smelter alumunium yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang ada di Kuala Tanjung Sumatera Utara. Coba bayangkan seandainya kita punya bauksit, kita punya alumina plant, kita juga punya smelter alumunium menjadi satu kesatuan supply chain yang tidak terputus? Maka aka nada dampak positif yang diterima bangsa ini seperti halnya negara-negara lain.  

Lalu kenapa adanya UU, ditambah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dan peraturan-peraturan lainnya malah menimbulkan dampak negatif yang juga cukup besar? Dikutip dari Kompasiana (youtube/kompasiana.com), dampak larangan ekspor menyebabkan pemberhentian 40 ribu karyawan, diperkirakan kehilangan kesempatan memperoleh devisa per tahun sekitar Rp17,60 trilyun, hilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp4,09 Trilyun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp595 miliar.

Saya mau mencoba menjawab dengan ilustrasi sederhana. Saya ingat betul pertanyaan dosen sewaktu kuliah. “Setujukah kalian dengan kebijakan impor?” tanya Profesor Catur Sugiyanto kepada saya dan semua mahasiswanya di kelas Ekonomi Pertanian sekitar enam tahun silam. Saya masih ingat betul bagaimana jawaban beliau ketika itu, jawabannya “tergantung!” Tergantung, tergantung dampak yang dihasilkan apakah menguntungkan lebih banyak pihak dan paling minimal dampak negatifnya. Bagi saya jawabannya menarik, sebab apa? Sebab setiap kebijakan yang diambil tentu bagai mata uang yang memiliki dua sisi, untuk itu perlu dicari keseimbangannya atau bahasa ekonominya itu equilibrium. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline