[caption id="attachment_413496" align="aligncenter" width="600" caption="Jokowi butuh juru bicara (Dok Jogja Tribunenews) "][/caption]
Kemarin (27/4/2015) baru saja Jokowi disematkan jaket bertuliskan 'Media Darling' di dada kiri. Sementara di bagian punggung tertulis 'Pers Indonesia'. Jaket bewarna merah putih itu langsung disematkan oleh Ketua Umum PWI Margiono di Auditorium TVRI dalam acara Silaturahmi Pers Nasional.
Seperti dikutip dari detik.com, dalam sambutannya Margiono mengatakan penyematan jaket tersebut sebagai bentuk pengukuhuan Jokowi sebagai media darling. "Dalam peringatan Hari Pers Nasional di Batam, Presiden ini media darling, medianya ada tapi darlingnya ngga ada. Kami memohon Bapak menerima jaket masyarakat pers, dengan tulisan pers nasional di belakang dan di depan media darling. Ini ungkapan hati sekaligus doa, mudah-mudahan my darling selalu dalam hati," tuturnya disambut tepuk tangan peserta.
Jauh sebelum acara itu, di tahun 2013 Lembaga penelitian asal Singapura, Purengage, melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa selain populer, Jokowi juga menjadi favorit di portal berita. Maka tidaklah mengherankan jika ada berita tentang hal terkecil dari Jokowi sekalipun menjadi menarik menjadi berita. Sebenarnya hal ini menurut penulis tidak terlepas dari pribadi Jokowi yang cenderung inklusif tidak berjarak dengan masyarakat termasuk wartawan. Begitu juga dengan Ahok. Ahok sejauh ini juga terus menghiasi pemberitaan di media massa.
Namun demikian, penulis memiliki pandangan bahwa Jokowi dan Ahok saat ini sudah sangat memerlukan seorang juru bicara. Sebab utamanya adalah tidak semua permasalahan yang muncul ditengah masyarakat lalu sangat seksi dimata wartawan secara instan dapat dijawab dengan baik oleh Jokowi maupun Ahok. Malah sebaliknya, sangat terlihat jelas Jokowi dan Ahok sangat kewalahan dan beberapa kali terpeleset lidah yang akhirnya malah menjadi buah bibir dimasyarakat.
Apakah hal demikian tidak baik? Tentu ada sisi positif sebab media memang menjadi penyambung lidah rakyat, disatu sisi munculnya pro dan kontra dapat membuat masyarakat terus belajar berdiskusi, urun rembug dan pada akhirnya akan memunculkan pengetahuan baru, seperti terkait dengan apakah Indonesia masih utang ke IMF? Namun ada sisi lain yang juga dipikirkan oleh Jokowi dan Ahok, ketika semua berita yang ada malah menimbulkan instabilitas sosial dan politik yang pada akhirnya malah bisa saja men-down grade Jokowi dan Ahok dimata masyarakat.
Tentu hal demikian perlu diperhatikan dengan mengangkat seorang Juru Bicara yang memiliki kapasitas dibantu oleh tim yang lintas sektoral mulai dari ekonomi, agama, sosial, politik, pertahanan keamanan dan bidang-bidang lainnya. Secara sejarah, juru bicara juga digunakan oleh Soekarno meski masyarakat juga tahu kapasitas dan siapa Soekarno. Tanggal 2 September 1945, di awal pemerintahan dan kabinet presidensial terbentuk, Soekarno tidak hanya menunjuk Mr. A. G. Pringgodigdo sebagai Sekretaris Negara namun juga Soekardjo Wirjopranoto sebagai Juru Bicara Presiden.
Bahkan di Era SBY yang didukung mayoritas parlemen secara dominan penuh, Beliau memiliki dua juru bicara kepresidenan Dino Patti Djalal dan Andi Alvian Mallarangeng di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan Dino Patti Djalal bersama Julian Aldrin Pasha di KIB II. Bukan berarti adanya jubir lalu mengurangi kedekatan Jokowi atau juga Ahok dilevel gubernur dengan juru ketik berita, namun ini merupakan bagian dari kehati-hatian para pemimpin dalam berbicara menjawab semua pertanyaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H