Saya biasa memanggil nenek itu Emak. Nggak tau kenapa, mungkin karena orang-orang memanggilnya Emak Eloh (Ibu Eloh dalam Bahasa Sunda). Nah cucu-cucunya jadi memanggilnya dengan sebutan Emak. Kini Emak sudah tiada, sudah dari tahun 2008 lalu.
Emak lahir di Kaki Gunung Ciremai di Desa Sindangkempeng, Pancalang Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Tahun berapa Emak lahir? Bapak Saya saja tidak tahu, kata Bapak mungkin 1930an. Maklum orang dulu, mana ada sertifikat-sertifikatan. Belum lagi lulus Sekolah Rakyat (SD) juga nggak, cuman sampai kelas 3. Problem kebanyakan orang dulu seperti Emak, nggak sekolah ya nikah. Apalagi Wanita, kalo nggak dapur ya kasur.
Nikah di usia sangat belia, bukan hanya didorong oleh keinginan pribadi, tapi ada juga faktor pola pikir orang tua jaman dulu dan juga kondisi ekonomi. Coba bayangkan kondisi sebuah desa di tahun 1930an sebelum zaman kemerdekaan? Kalo Anda jalan-jalan ke Sindangkempeng di era modern seperti sekarang, mungkin saat ini jauh lebih baik, sudah ada listrik, jalan, pemerintahan, beberapa sekolah hingga jenjang SMA dan sederajat, tapi jangan bayangkan dan bandingkan Desa Sindangkempeng seperti Kelurahan di Jakarta, bahkan dengan Kota Cirebon atau Kuningan saja masih kalah jauh pesatnya.
Tahu nggak? Emak tercatat dalam ingatan Bapak menikah sebanyak 7 kali. Tentu Emak bukan penganut poliandri, tapi kebanyakan karena cerai, kecuali dengan suami ke-3 emak yang berpisah karena meninggal dunia. Sebelum Bapak lahir, Emak sudah pernah menikah dengan 2 suami. Pertama, orang keturunan Arab, Bapak Saya nggak ingat namanya. Nikah di usia belia, karena terpaksa membuat Emak akhirnya berpisah dan cerai. Kedua, menikah dengan tentara pejuang rakyat. Zaman-zaman kehidupan Emak emang penuh dengan perjuangan, perjuangan melawan Belanda, Jepang dan Pemberontakan. Tapi akhirnya emak memutuskan berpisah, karena enggan ikut Suami ke Jawa. Nama suami pertama dan kedua, Bapak Saya tidak ingat. Maklum Bapak belum lahir.
Bapak Saya baru inget nama suami Emak yang ke-3. Ya iyalah karena Bapak kandungnya sendiri yang akhirnya di tahun 1953 terlahirlah seorang putra satu-satunya bernama Komaruddin S. Nama suami ke-3 Emak namanya Pak Marjun, seorang Pecanting batik dari sebuah Desa di Pekalongan, Celuluk. Menikah sampai Pak Marjun meninggal karena sakit. Setelah itu berturut-turut dengan tetangga satu Desa Pak Ridwan, nikah lalu cerai. Lalu dengan seorang guru SD Pak Marzuki namun sayang menikah lalu cerai.
Emak juga sempat merantau ke Jakarta, menikah dengan Pak Suganda lalu bercerai, menikah dengan Pak Ismail orang Tanjung Priok juga bercerai. Setelah itu, Emak kembali ke kampung halamannya sampai meninggal. Nah, Emak gak pengen tuh apa yang dialami olehnya dirasakan oleh Anaknya, Bapak Saya. Bapak Saya disuruh sibuk dengan pendidikannya, supaya nasib bisa berubah. Meski Bapak tetap terpaksa membantu Emak berjualan untuk menutupi biaya sekolahnya, tapi support seorang Emak gak bisa untuk nggak dihargai. Ada peran-peran seorang Emak agar anak tunggalnya menjadi lebih baik, nggak nikah diusia belia dan juga memiliki pendidikan yang lebih tinggi.
Singkat cerita, cita-cita Emak tercapai. Bapak sampai menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Terbuka. Hidupnya diabdikan sebagai guru mulai tahun 1977 sampai pensiun April 2013 lalu. Bapak baru menikah di tahun 1984 ketika usianya memasuki usia 30 tahun dan istrinya yang kini menjadi ibuku dinikahi Bapak saat diusia 29 tahun. Bapak menikah disaat sudah memiliki modal pendidikan dan mandiri secara ekonomi meski belum layak dibilang mapan. Hehe...
Pesan Emak terus berlanjut dari Bapak lalu sekarang kepada putra-putranya kalo mau nikah lulus kuliah dulu kerja dulu. Gak ada tawar-tawaran. Bapak selalu bilang kenapa harus lulus dan kerja dulu, seperti orang Betawi berkata pada anaknya “Emang lu mau ngasih empan anak orang apaan Tong?” “Memangnya Kamu mau berikan makan apa anak orang yang Kamu mau nikahi?”
Akhirnya Kita ikut, lulus kuliah, kerja dulu. Anak pertama yang lahir tahun 1986, harus lulus kuliah kerja dulu baru nikah di usia 25 tahun. Anak kedua, yaitu Saya yang lahir tahun 1988 juga sama. Lulus kuliah dulu, kerja dulu baru nikah.
Ada dua zaman yang seharusnya sudah berakhir di era modern saat ini: zaman Siti Nurbaya dimana menikah karena dipaksa orang tua dan zaman menikah diusia terlalu belia. Sekarang eranya lulus kuliah (pendidikan) dan kerja dulu (mandiri secara ekonomi). Menurut penulis adalah dua syarat utama menjadi generasi berencana. Keduanya ditentukan oleh mindset orang tua. Nggak mungkin seorang Prof Fasli Jalal Kepala BKKBN memarahi semua anak orang yang menikah tanpa rencana diusia relatif belia? Pak RT juga gak mungkin melakukan hal itu kepada anak orang. Soalnya anak orang sih, kalo anak Pak RT sendiri masih mungkin.. Hehe… yang paling bisa dan yang paling mengerti dengan anak-anak ya orang tuanya, ibu dan bapaknya.
Disitulah peran orang tua sangat penting dalam menyiapkan generasi berencana. Bisakah pola pikir orang tua berubah agar anak-anaknya lebih baik dari kehidupan mereka? Ini PR besar bagi para orang tua apalagi zaman modern seperti sekarang ini tantangannya semakin besar. Sekarang kata orang adalah era dimana masa akil baligh (dewasa) semakin cepat, hamil diluar nikah menjadi biasa, aborsi dan membuang bayi menjadi hobby?