Lihat ke Halaman Asli

Rizky Febriana

TERVERIFIKASI

Analyst

Ke Timur Kita Jaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14188029311513262270

[caption id="attachment_383344" align="aligncenter" width="490" caption="Provinsi di Kawasan Timur Indonesia (Dokumentas Pribadi)"][/caption]

Sejauh ini, kontribusi kawasan industri terhadap nilai ekspor, investasi dan penerimaan negara terbilang positif dan menggembirakan. Menurut estimasi Kementerian Perindustrian, kontribusi kawasan industri terhadap penciptaan ekspor mencapai US$52 miliar (41% dari nilai total ekspor non migas tahun 2012), sedangkan terhadap penciptaan investasi sekitar US$10.2 miliar (60% dari total investasi industri manufaktur) dan terhadap penerimaan negara menembus angka US$938 juta yang berasal dari PBB, PPn, PPh.

Kontribusi tersebut diprediksi akan terus meningkat karena dua hal yakni kinerja positif sektor industri manufaktur (industri pengolahan) yang menjadi tenant utama kawasan industri dan adanya dukungan regulasi pemerintah. Berdasarkan data BPS, kinerja positif sektor manufaktur terhadap penciptaan PDB selama kurun waktu 2005-2012 rata-rata mencapai 26,67% setiap tahunnya. Kinerja positif juga tercermin dari realisasi investasi PMA dan PMDN sektor manufaktur selama kurun waktu yang sama. Data BKPM mencatat realisasi PMA sektor manufaktur mengalami pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya sebesar 19% sedangkan PMDN sebesar 13%.

Adanya dukungan regulasi pemerintah juga semakin membuka peluang meningkatnya pertumbuhan kawasan industri baru di Indonesia. Hal ini didasari oleh komitmen kuat pemerintah melalui Perpres No.28/2008 yang ingin menjadikan Indonesia negara tangguh industri dunia pada tahun 2025 dengan menciptakan kawasan industri baru sebagai pusat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Selain itu, terbitnya PP No.24/2009 diyakini juga akan meningkatkan pertumbuhan kawasan industri karena setiap pabrik industri baru yang berdiri wajib beroperasi di dalam kawasan industri. Pemerintah juga merangsang calon investor untuk membuka lahan kawasan industri dengan menawarkan insentif fiskal dan non fiskal melalui UU No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Namun, peluang tersebut juga harus diikuti dengan kebijakan pemerintah di dalam mendorong pemerataan pembangunan kawasan industri khususnya di Kawasan Timur Indonesia.

Menurut data Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), saat ini 95% lahan kawasan industri terpusat di Kawasan Barat Indonesia dengan komposisi 67% di Pulau Jawa dan 28% di Pulau Sumatera, sedangkan sisanya 5% berada di Kawasan Timur Indonesia. Disamping itu, terkonsentrasinya lahan kawasan industri berdampak pada meningkatnya harga lahan disaat supply terbatas dengan demand yang cenderung meningkat. Hal ini sudah tercerminkan dari harga lahan kawasan industri seperti di Jakarta yang sudah mencapai US$200/m2 atau dengan harga sewa lahan US$20/m2 per bulan (JETRO, 2013). Upah tenaga kerja DKI Jakarta pada tahun 2015 juga cenderung akan meningkat menjadi Rp2,75 juta per bulan, meningkat hampir 13% dari tahun sebelumnya. Terjadinya peningkatan harga lahan kawasan industri dan UMR tenaga kerja tentu akan menambah beban pelaku usaha (tenant) yang masih menjadikan lahan dan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Maka tak heran jika ada wacana hengkangnya beberapa perusahaan dari Jakarta.

Saat ini bagi pelaku usaha pilihan bisnisnya semakin terbatas, merelokasi usahanya ke luar negeri atau bergeser ke kawasan industri lainnya di Indonesia? Merelokasi usaha ke luar negeri tentu menjadi pilihan sulit mengingat Indonesia masih memiliki wilayah-wilayah lainnya yang masih kompetitif untuk dijadikan basis produksi. Disamping itu, Indonesia merupakan salah satu the big market potential karena memiliki 240 juta lebih penduduk yang ditopang dengan pendapatan per kapita sebesar US$3.850 setiap tahunnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, diyakini Indonesia masih merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi para pelaku usaha dari dalam dan luar negeri untuk melakukan aktifitas produksi sekaligus memasarkan produknya (inward-looking strategy).

Maka opsi yang paling rasional bagi pelaku usaha pada jangka pendek adalah menggeser basis produksi, salah satunya ke kawasan industri di KTI. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat harga lahan dan upah tenaga kerja pada kawasan industri di KTI terbilang paling kompetitif. Namun demikian, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian RI masih ada beberapa hal yang masih menjadi tantangan bagi perkembangan kawasan industri di KTI diantaranya adalah minimnya infrastruktur pendukung seperti transportasi (jalan, bandara, rel kereta api dan pelabuhan), listrik, air bersih, telekomunikasi, gas dan infrastruktur pendukung lainnya; kurangnya minat pihak swasta dalam mengembangkan kawasan industri karena minimnya insentif fiskal dan non fiskal yang ditawarkan oleh pemerintah; belum semua Kabupaten/Kota memiliki rencana peruntukan wilayah bagi kawasan industri yang berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tantangan-tantangan tersebut menjadi faktor utama lambatnya pertumbuhan kawasan industri di KTI yang pada akhirnya menyebabkan regional inequality.

Tentu hal ini harus menjadi perhatian Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang dibentuk melalui Keppres No.13 Tahun 2000 mengingat ketidakseimbangan ini juga mencerminkan ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di sisi yang lain, perhatian yang sama juga harus diberikan oleh Kementerian Perindustrian agar target 40% konsentrasi industri harus berada di luar Pulau Jawa dapat teralisasi sesuai waktu yang telah ditetapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline