[caption id="attachment_392022" align="alignnone" width="700" caption="Ilustrasi BUMN (Dok LCDC FH UGM)"][/caption]
Meski masih dalam proses pembahasan dengan DPR, pengajuan Rp75 triliun untuk Penanaman Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN oleh pemerintahan Jokowi patut diapresiasi. Sebagian orang menilai, pemerintahan Jokowi nampaknya ingin menghapus image negatif PDIP di mata publik yang pernah menjual BUMN ketika mereka berkuasa.
Seperti tulisan saya sebelumnya, Rp75 triliun adalah sebuah pertaruhan dari Jokowi. Pasalnya, seperti dilansir beberapa media, beberapa BUMN yang termasuk kriteria BUMN tidak sehat juga rencananya mendapatkan PMN. Tentu pemberian PMN kepada BUMN yang tidak sehat memiliki risiko 2x lebih besar ketimbang memberikan PMN kepada BUMN sehat. Namun demikian, hal tersebut bukan menjadi alasan bagi DPR untuk mengganjal pemberian PMN kepada BUMN tidak sehat. Sebab, meski ada risiko, juga masih ada peluang. Ada peluang dan kemungkinan PMN akan mampu membuat BUMN tidak sehat menjadi sehat.
Tentu kita semua berharap, dana PMN kepada BUMN nantinya akan mampu memperbaiki dan atau meningkatkan kinerja BUMN sehingga BUMN tersebut dapat bersaing dengan entitas bisnis lainnya, memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, menyerap banyak tenaga kerja dan terlebih diharapkan memberikan peningkatan pemasukan untuk kas negara dalam bentuk pajak dan deviden. Namun, sebaliknya bagaimana jika PMN kepada BUMN tidak mampu memperbaiki dan atau meningkatkan kinerjanya alias terus merugi? Apakah perlu diberikan PMN kembali atau ada skema lain?
Sudah barang tentu pemerintah memiliki skema penyelamatan BUMN yang terus mengalami kerugian. Identifikasi masalah terhadap BUMN yang merugi juga dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan yang berbeda antar tiap BUMN. Pertanyaan-pertanyaan seputar apakah BUMN tersebut masih ada peluang untuk diperbaiki? Seberapa besar utangnya, berapa banyak pegawainya, berapa total asetnya? Jika plan A tidak berjalan, plan B dijalankan dan seterusnya.
Lalu bolehkah BUMN dijual? Pertanyaan ini sebenarnya bisa kita misalkan. Misalnya kita menjalankan bisnis keluarga, bisnis dan modal awalnya dari orang tua. Diperjalanan bisnis kita merugi, lalu dikasih modal lagi oleh orang tua, tapi kemudian bisnis kita kembali merugi lagi. Apakah kita minta orang tua kasih modal lagi untuk kita? Orang tua mungkin akan memberikan modal kembali, tapi sebelumnya orang tua memberhentikan kita dan menggantinya dengan kakak atau adik kita untuk menjalankan roda bisnis perusahaan. Jika kakak atau adik kita juga tidak mampu, bisa saja orang tua menutup bisnis keluarga atau menjual sebagian kecil atau bahkan menjual seluruhnya.
Di atas adalah ilustrasi sederhana, meski pada praktek bernegara, menjual BUMN tentu tidak sangat sederhana. Banyak proses yang harus dilalui. Apalagi saat ini kita tidak menganut dan mengadopsi skema fast-track privatization: restrukturisasi lalu dijual (privatisasi). Sekarang era restrukturisasi-revitalisasi, profitisasi dahulu, kemudian jika dinilai perlu diprivatisasi maka privatisasi dengan harga yang layak. Jadi, menurut saya pribadi menjual BUMN bukan sesuatu yang haram. Namun ada sesuatu yang wajib yang juga harus dilalui, yaitu menyelamatkan BUMN terlebih dahulu. Kalau diselamatkan lalu menjadi BUMN sehat, kompetitif dan kontributif bagi masyarakat dan negara dalam bentuk pajak dan deviden, tentu menurut saya lagi tidak ada alasan untuk menjual BUMN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H