Teknologi seperti smartphone yang semakin berkembang dengan pesat menjadikan era informasi semakin mudah diakses. Muncul dan berkembangnya aplikasi seperti instant messenger, social network semakin memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi, jarak kini bukanlah menjadi halangan. Selain untuk kemudahan akses, smartphone juga dapat memberikan rasa percaya diri bagi penggunanya, selain dengan model-model smartphone yang semakin stylish, aplikasi yang dapat diinstalasi didalamnya dapat membuat pengguna smartphone selalu update dengan berita-berita terkini. Dampak psikologis yang diakibatkan oleh penggunaan smartphone pada individu, kelompok dan masyarakat pada umumnya terkait dengan perubahan perilaku dan kebiasaan sebelum dan sesudah menggunakannya.
Nomofobia (bahasa Inggris: Nomophobia, no-mobile-phone phobia adalah suatu sindrom ketakutan jika tidak mempunyai telepon genggam (atau akses ke telepon genggam). Nomophobia (no-mobile-phone-phobia) adalah jenis fobia yang ditandai dengan ketakutan berlebih jika seseorang kehilangan atau tidak berada dekat dengan smartphone-nya. Orang yang mengalami nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan selalu cemas dalam meletakkan atau menyimpan smartphone miliknya, sehingga selalu membawanya kemanapun pergi. Istilah ini pertama kali muncul dalam suatu penelitian tahun 2010 di Britania Raya oleh YouGov yang meneliti tentang kegelisahan yang dialami di antara 2.163 pengguna telepon genggam. Studi tersebut menemukan bahwa 58% pria dan 47% wanita pengguna telepon genggam yang disurvei cenderung merasa tidak nyaman ketika mereka "kehilangan telepon genggam, kehabisan baterai atau pulsa, atau berada di luar jaringan", dan 9% selebihnya merasa stres ketika telepon genggam mereka mati. Separuh di antara mereka mengatakan bahwa mereka gelisah karena tidak dapat berhubungan dengan teman atau keluarga mereka jika mereka tidak menggunakan telepon genggam mereka.
Dalam penggunaannya smartphone sangat membantu dalam berkomunikasi serta menjadi pendukung dalam melakukan aktivitas dengan aplikasi yang ada. Dengan smartphone saat ini orang dapat menjalin hubungan percakapan person-to-person dan sekaligus mengirim pesan. Beberapa orang memiliki kebiasaan menempatkan smartphone di meja agar mudah untuk dilihat dan jika interaksi percakapan secara tatap muka tidak cukup menarik, ada alternatif untuk mengalihkan perhatian. Ketergantungan pada perangkat bergerak ini berdampak pada kehidupan sosial penggunanya. Sebanyak 33% pengguna yang bekerja, mengecek smartphone untuk email dan pesan pada malam hari. Dalam penelitian yang dilakukan Oulasvirta ditemukan bahwa orang-orang mengecek smartphonenya sebanyak 34 kali sehari, bukan untuk keperluan memeriksa email atau menjalankan aplikasi yang lain, namun merupakan kebiasaan untuk menghindari rasa tidak nyaman. Penelitian lain menyebutkan, kebanyakan siswa memulai harinya dengan mengecek laman jejaring sosialnya. Rata-rata jejaring sosial diakses selama 5 jam per hari dengan menggunakan smartphone.
Fenomena nomophobia terjadi karena orang-orang saat ini cenderung asik dengan kehidupan dunia maya dan hanya sedikit perhatian terhadap dunia nyata. Komunikasi cenderung lebih sering terjadi melalui akun-akun media sosial dibanding dengan intensitas komunikasi secara langsung atau face to face. Perilaku ini seakan membuat mereka tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Tingkat kecanduan ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain, (1) faktor internal: yaitu faktor yang menyangkut karakteristik individu, bisa disebabkan kontrol diri yang rendah. (2) Faktor situasional: menyangkut situasi psikologis individu, rasa nyaman terhadap pemakaian ponsel dan alasan pelarian gangguan lain seperti stres dan rasa bosan. (3) Faktor eksternal: biasanya pengaruh media dalam memasarkan ponselnya, daya tarik yang dipromosikan dan konsisi lingkungan sehingga menimbulkan rasa ingin. (4) Faktor sosial: berkenaan dengan interaksi sosial dan menjebol batas waktu untuk berkomunikasi.
Nomophobia dapat berakibat fatal bagi si pengidap maupun orang-orang di sekitarnya, telah banyak kasus yang terjadi akibat nomophobia seperti yang terjadi di provinsi Balikpapan "Main HP, Tewas Seruduk Truk". Kajadian maut ini bermula saat korban Rahmad yang diketahui tinggal di Jalan Soekarno Hatta Km 20 Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara melaju ke arah Terminal Batu Ampar. Sesampainya di tempat kejadian perkara (TKP), Rahmad terlihat sedang bermain HP dan langsung menabrak truk yang sedang berhenti di sisi kiri jalan. Setelah terjadi tabrakan, warga langsung mencoba melarikan korban ke RSKD, namun karena mengalami luka yang cukup parah di bagian dada akhirnya korban meninggal dunia di dalam perjalanan ke rumah sakit. Kasus kecelakaan seperti ini, lanjut Afrian, benar-benar harus menjadi pelajaran bagi masyarakat agar saat berkendara tidak sambil bermain hp.
Ketika dorongan untuk melakukan hal itu mencapai puncaknya, kontrol dapat membantu individu mempertimbangkan tentang aspek, resiko dan norma sosial yang akan dihadapinya. Kontrol diri itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah yang lebih positif.
Sadar dan kontrol diri adalah cara yang efektif untuk menekan itu, terlebih sebagai manusia kita akan kita akan selalu butuh dengan orang lain. Untuk itu mulai sadar lingkungan, pertahankan komunikasi secara nyata, hindari melarikan diri dengan ponsel, menghargai lawan bicara dengan tidak melihat ponsel secara konstan. Kita memang membutuhkan teknologi khusunya ponsel untuk kemudahan, namun bukan berarti kita terisolasi dari dunia nyata dan tidak memperdulikan sekitar.
(kacamatakeilmuan-riz)
Penulis: Rizky
Referensi: