Lihat ke Halaman Asli

Rizky Arya Kusuma

Belajar nulis.

Yang Spesial dari Sains

Diperbarui: 5 Juni 2023   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Saintis (freepik)

Rival terbesar umat manusia adalah ketidakpastian dan ketidaktahuannya sendiri. Ketidaktahuan inilah yang akan terus menggoda manusia untuk mencari tahu sesuatu. Upaya-upaya inilah yang kemudian akan melahirkan pengetahuan. Namun, diantara berbagai pengetahuan yang tersedia, ada salah satu yang spesial dan berbeda, yaitu sains. Lalu, apa yang membuat sains berbeda?

Jawaban yang biasa kita ketahui adalah metodenya. Sains memiliki metode khusus untuk bisa sampai pada pengetahuan yang dapat diandalkan (reliable) bagi kehidupan manusia. Metode inilah yang disebut sebagai metode ilmiah (scientific method). Metode ilmiah merupakan sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti-bukti objektif.

Namun, menurut Lee McIntyre, penulis buku "The Scientific Attitude: Defending Science from denial, Fraud, and Pseudoscience", bukan metodenya yang membuat sains itu spesial, melainkan apa yang disebut sebagai "sikap ilmiah" (scientific attitude). Apa itu sikap ilmiah?

Sikap ilmiah adalah sikap untuk berkomitmen pada dua prinsip dasar. Pertama, peduli pada bukti empiris. Kedua, bersedia mengubah suatu teori apabila ditemukan bukti empiris baru yang membuktikan bahwa teori itu salah. Sikap inilah yang membedakan sains dari pengetahuan lainnya (non-sains maupun pseudosains).

Sikap ilmiah tidak dimiliki oleh para penyangkal sains (denialists). Misalnya, mereka menolak menerima teori-teori ilmiah yang metodenya valid, bahkan memiliki bukti-bukti melimpah. Hal demikian terjadi biasanya akibat teori-teori ilmiah yang ada bertentangan dengan keyakinan ideologis mereka. Itulah yang bisa kita jumpai pada para penyangkal perubahan iklim, mereka menyangkal bahwa aktivitas manusia berkontribusi terhadap perubahan iklim global meskipun telah banyak riset yang menjelaskan. Mereka bahkan menentang upaya-upaya untuk menyelamatkan bumi dari iklim yang jauh lebih buruk. Atau yang aktual, para penyangkal vaksin. Mereka lebih percaya klaim bahwa vaksin mengandung "chip" yang bertujuan untuk depopulasi manusia.

Sikap ilmiah juga tidak dimiliki oleh kaum pseudosains. Hanya saja para penganut pseudosains ini tidak sefrontal denialists. Mereka tidak serta merta menolak teori ilmiah, tetapi berupaya memakai baju sains untuk mengkampanyekan apa yang biasa mereka sebut sebagai "teori pinggiran." Namun, apabila ada bukti-bukti empiris yang membuktikan bahwa "teori pinggiran" itu salah, mereka menolak mengubah keyakinannya alias tidak memiliki scientific attitude. Ketiadaan sikap ilmiah itu biasanya kita jumpai pada teori konspirasi. Contoh paling aktual yaitu ihwal teori konspirasi pandemi Covid-19. Para penganut teori ini berpandangan bahwa virus Corona itu bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan fabrikasi (buatan) elite global yang bertujuan untuk mengontrol seluruh manusia.

Teori konspirasi ini biasanya disusun dengan memilah-milih (cherry-picking) data dan fakta yang bisa mendukung keyakinan pembuatnya dan mengabaikan data dan fakta lain yang dapat menolaknya. Maka, mereka hanya akan peduli pada fakta-fakta yang mendukung keyakinan mereka sehingga dapat disusun menjadi suatu narasi besar, narasi yang luar biasa, dan tampak meyakinkan. Namun, ketika mereka diperlihatkan dengan data dan fakta yang menunjukkan bahwa virus Corona itu terjadi secara alamiah, bukan hasil rekayasa, maka akan ditolak mentah-mentah. Oleh karenanya, Karl Popper, seorang filsuf sains menyebut teori konspirasi adalah teori yang tertutup. Popper berpendapat bahwa teori ilmiah yang valid harus terbuka untuk pengujian dan bisa dibuktikan salah jika ada bukti yang cukup. Sedangkan hal tersebut tidak dimiliki oleh teori konspirasi. Teori konspirasi sering kali terjebak dalam kepercayaan yang tidak dapat dibantah dan tidak mampu diuji secara empiris. Para pembuat teori konspirasi tidak pernah mau mengoreksi dirinya di hadapan fakta-fakta empiris yang menentangnya.

Kemauan untuk mengoreksi diri sendiri (self-correcting) inilah yang membuat teori ilmiah spesial dan berbeda dari teori-teori lainnya. Sains selalu terbuka terhadap kemungkinan kesalahan. Sains mungkin saja salah, dan dalam sejarahnya, memang banyak teori ilmiah yang sudah terbukti salah. Misalnya pada masa lalu, teori geosentris yang dikemukakan oleh Ptolemy menyatakan bahwa Bumi adalah pusat tata surya dan matahari serta planet-planet bergerak mengelilinginya. Namun, kemudian teori heliosentris yang diajukan oleh Nicolaus Copernicus dan dikembangkan oleh Galileo Galilei menunjukkan bahwa matahari adalah pusat tata surya dan planet-planet mengorbit di sekitarnya. Teori heliosentris ini akhirnya diterima dan menggugurkan teori geosentris berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Pada abad ke-19, teori pangenesis diajukan oleh Charles Darwin sebagai mekanisme pewarisan sifat dalam evolusi. Teori ini mengusulkan bahwa setiap bagian tubuh menghasilkan "gemula" yang dikumpulkan dalam sel reproduksi untuk diturunkan kepada keturunan. Namun, teori genetika mendel yang dikemukakan oleh Gregor Mendel pada akhir abad ke-19 menunjukkan bahwa pewarisan sifat dikendalikan oleh unit yang terpisah, yang sekarang dikenal sebagai gen. Teori Mendel memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang mekanisme pewarisan dan menjadi dasar bagi genetika modern.

Sikap untuk selalu terbuka terhadap kemungkinan salah inilah yang membuat sains spesial dan layak untuk dipercaya. Ia tidak bercita-cita untuk mencapai kebenaran yang mutlak. Sebaik apapun hasil observasi dan eksperimen yang dilakukan, tidak bisa menutup kemungkinan di masa depan akan ada instrumen dan pendekatan baru yang lebih baik dan dapat menggugurkan teori yang lebih dulu ada. Sains memang tidak dapat menjamin bahwa teorinya pasti benar, tetapi dengan kemampuannya untuk selalu terbuka terhadap kemungkinan salah dan mau untuk terus mengoreksi diri, sains bisa membawa kita semakin mendekati kebenaran. Sebab, kebenaran itu selalu didekati dengan setia kepada metode ilmiah (scientific method) dan sikap illmiah (scientific attitude), bukan dijejali sebagai doktrin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline