Membumikan kesetaraan merupakan visi mulia yang terkandung dalam Pancasila. Sejarah mencatat, Pancasila pertama kali dikenalkan oleh Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Momen tersebut kini diperingati sebagai hari lahirnya dasar negara Indonesia: Pancasila. Pada saat gagasan dasar negara yang dinamai Pancasila itu pertama kali digaungkan oleh Soekarno, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kondisi ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan itu berwajah kolonialisme, imperialisme, feodalisme, patriarkisme, dan sebagainya. Sebuah pemadangan yang awam dijumpai di sebagian besar wilayah Nusantara pada masanya.
Kini, setelah 78 tahun berlalu, kesetaraan masih menjadi topik yang selalu menarik untuk dibicarakan dan diupayakan agar tertanam dalam setiap sendi kehidupan. Pergantian pemerintahan, mulai dari orde lama, orde baru, hingga kini orde reformasi, tak terhindar dari kritik dan gugatan atas perwujudan Pancasila yang masih jauh dari nilai kesetaraan.
Kita bisa dengan mudah mendapati ketidaksetaraan yang masih menyelimuti negeri ini. Misalnya, dominasi kelompok dengan latar sosial tertentu, marginalisasi kepada kaum tertentu, hegemoni kekuasaan maupun hegemoni gender, dan sebagainya. Realita tersebut kemudian menantang dunia pendidikan untuk dapat berperan menumbuhkan sikap egaliter dalam bingkai pendidikan karakter.
Sikap egaliter adalah sikap yang menghargai kesetaraan pada setiap manusia. Prinsip egaliter menekankan pada kesamarataan (equality) atau kesetaraan sebagai satu kesatuan masyarakat Indonesia. Perwujudan kesetaraan merupakan penghargaan terhadap martabat individu. Untuk itu, sikap egaliter sangat perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter.
Tanpa semangat dari nilai egalitarianisme, maka pendidikan akan kehilangan roh yang sesungguhnya. Sebab kebebasan dalam pendidikanlah yang akan mampu memberikan pembebasan bagi manusia untuk bisa memahami siapa dirinya dan harus dengan cara yang bagaimana ia menempatkan orang lain (Sutono, 2015). Jika sikap egaliter tidak tertanam pada masyarakat maupun pejabat pemerintahannya. Maka, bukan tidak mungkin orde reformasi sesungguhnya hanyalah orde citra yang menampilkan wajah egaliter, namun memelihara sikap feodal atau bahkan kolonial.
Agar tidak menjadi orde citra, orde reformasi harus mampu membuktikan diri mewujudkan prinsip egaliter dalam berdemokrasi. Pasalnya, bangsa Indonesia telah menyepakati, menjalankan demokrasi berdasarkan dasar negara yaitu Pancasila. Menurut sila keempat, demokrasi Pancasila itu harus dijalankan di bawah prinsip: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan." Cita kerakyatan yang termaktub dalam sila keempat tersebut menunjukkan adanya pemuliaan terhadap daulat rakyat.
Daulat rakyat dijalankan dengan cita permusyawaratan yang menurut Yudi Latief adalah untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya "kesederajatan/persamaan dalam perbedaan." Maka, terang sudah bahwa para pendiri bangsa sesungguhnya telah menyuntikkan semangat egalitarianisme dalam bentuk daulat rakyat yang merupakan emansipasi dari aneka bentuk penindasan, khususnya penindasan kolonialisme dan feodalisme.
Sementara itu, dalam proses penyusunan dasar negara, para pendiri bangsa juga telah berupaya agar dasar negara itu jangan sampai hanya didominasi oleh satu pandangan hidup atau satu ajaran moral saja. Hal ini dapat kita amati dari: 1) kosa kata Pancasila yang dapat diterima oleh kemajemukan religiusitas bangsa Indonesia, artinya Pancasila bukan hanya milik satu kelompok agama saja; 2) nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam Pancasila tidak secara eksklusif berasal dari ajaran satu suku tertentu saja; dan 3) pancasila merupakan jalan tengah dari bermacam-macam ideologi yang eksis pada masa itu.
Sebagaimana dikutip dari pendapat Yudi Latief, bahwa secara historis kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesis) dari keragaman keyakinan, paham dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sintesis dari segala paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat trans-nasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebhinekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis daripada segala paham keadilan sosial-ekonomi.
Oleh sebab itu, prinsip egalitarianisme yang merupakan salah satu visi dari Pancasila sangat perlu untuk diingat kembali dan harus diupayakan agar tertanam dalam setiap rakyat Indonesia. Sikap egaliter perlu terus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter. Para pendahulu kita telah mengajarkan betapa sikap egaliter itu perlu ditunjukkan tidak hanya sebatas kata-kata, tidak hanya sebatas jargon, tapi terejawantah dalam bentuk kesetaraan kesempatan di setiap segi kehidupan. Tak terkecuali dalam kehidupan berdemokrasi.