Lihat ke Halaman Asli

Rizky Alfriansyah

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Peperangan Berujung pada Perdamaian: Tigray - Ethiopia

Diperbarui: 12 Januari 2023   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu tragedi kemanusiaan terburuk yang pernah terjadi di dunia telah memburuk secara drastis selama beberapa bulan terakhir. Akan tetapi, rendahnya perhatian dari komunitas internasional membuat permasalahan ini dianggap sebelah mata. Sejak bulan Agustus, peperangan kembali terjadi tepatnya di bagian utara wilayah Tigray-Ethiopia, di mana pasukan militer pemerintah Ethiopia terlibat dengan para kelompok pemberontak Tigray, yang dimana menyebabkan jatuhnya korban sipil, rusaknya berbagai prasarana penting, dan membuat puluhan ribu warga sipil mengungsi. Hal ini juga bersamaan dengan dimulainya negosiasi perjanjian damai antara pemerintah Etiopia dan perwakilan Tigray, para pemimpin regional dan global serta berbagai organisasi multilateral selayaknya mendesak agar konflik yang terjadi segera berakhir dengan damai.

Awal Mula Konflik Tigray-Ethiopia

            Berawal pada November 2020, peperangan yang terjadi di Tigray sudah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Konflik ditandai dengan kekejaman dan sikap tidak berperasaan yang mengancam nyawa manusia. Menurut Komisi Internasional yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB, ditemukan adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak lawan dari kedua belah pihak, seperti hukuman mati tanpa melalui proses peradilan, pemerkosaan secara massal, dan bencana kelaparan yang dilakukan dengan sengaja, serta tingkat kerusakan lainnya yang tidak mungkin untuk diperkirakan akibat adanya pemblokiran penggunaan internet yang terjadi sekitar 2 tahun akibat konflik yang berkepanjangan serta diikuti dengna larangan aktivitas keluar masuk ke kawasan Tigray. Meskipun demikian, para ahli di Gent University memperkirakan bahwa konflik berkepanjangan yang telah mengakibatkan terjadinya bencana kelaparan serta minimnya layanan medis, memakan korban jiwa hingga 385.000 sampai 600.000 orang. Sementara itu, sekitar 1 juta orang lainnya kini terpaksa hidup dalam pengasingan.

            Pasukan Ethiopia akhir-akhir ini berhasil merebut kendali atas sejumlah kota besar di seluruh Tigray, termasuk kota utama yaitu kota Sher. Serangan dari pihak militer yang didukung oleh pasukan dari negara tetangga Eritrea, yang merupakan musuh lama Etiopia namun sekarang telah mencapai kesepakatan damai dengan pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmeds pada tahun 2018, langkah ini menjadikan Abiy memperoleh hadiah Nobel perdamaian. Namun kini, pihak yang memuji Abiy empat tahun yang lalu kini meningkatkan kewaspadaan mereka. Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, "The situation in Ethiopia is spiraling out of control", yang mana hal ini menjelaskan bahwa apa yang tejadi di Ethiopia mengindikasikan bahwa situasi sedang menjadi semakin buruk atau tidak terkendali, dan ada kekhawatiran tentang potensi konflik atau kekacauan yang lebih besar di masa depan. Pernyataan ini juga menunjukkan keprihatinan tentang kemampuan pemerintah atau pihak lain untuk mengendalikan situasi di Ethiopia. Menanggapi hal tersebut, Tedros Adhanom Ghebreyesus, selaku Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan juga merupakan penduduk asli Tigray, mengatakan bahwa "There is a very narrow window now to prevent genocide" di Tigray, yang mana hal tersebut menyatakan bahwa situasi di Tigray sedang memburuk atau membahayakan bagi kelompok-kelompok tertentu, dan perlu adanya tindakan segera guna mencegah terjadinya kekerasan atau kejahatan terhadap masyarakat yang lebih lanjut.

Menyembuhkan Luka Perang

            Berbagai langkah strategis diplomatik yang dilakukan sejauh ini bisa dikatakan berjalan dengan runtut dan sistematis. Ketika konflik mencapai pada tingkat yang genting, komunitas internasional perlu mengambil tindakan lanjut. Langkah pertama kali ialah, dengan mendorong kedua belah pihak agar bersedia bernegosiasi dengan itikad baik sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan damai yang diprakarsai oleh Uni Afrika. Kedua belah pihak perlu mendesak agar peperangan dapat dihentikan secepatnya, memberikan jaminan keamanan kepada tenaga medis, serta memberikan akses tanpa batas untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Lalu hadirnya Amerika Serikat dan mitra-mitranya memang memiliki pengaruh yang kuat, Dimana mereka bisa saja memberikan sanksi baru kepada aktor-aktor yang terbukti melakukan pelanggaran, dan menahan sementara waktu atas bantuan non-kemanusiaan hingga adanya pembenahan. Namun dengan kondisi ekonomi Ethiopia yang tertatih-tatih di tengah konflik, negara-negara adidaya harus menekankan bahwa terdapat keringanan hutang yang tersedia, namun hal tersebut dilakukan apabila kondisi negara tersebut kembali menjadi lebih baik. Oleh karena itu, bukan sebuah alasan lagi bagi seluruh dunia untuk menutup mata, mengingat meningkatnya jumlah angka kematian yang bertambah setiap harinya. Menurut laporan Komite HAM PBB (UN Human Rights Committees expert panel) berdasarkan wawancara dengan 185 korban, penyintas, saksi, dan lainnya, tentang Ethiopia pada bulan September menyimpulkan bahwa terdapat "Reasonable grounds to believe that parties to the conflict have committed war crimes and violations and abuses of human rights" dengan artian bahwa terdapat dasar yang cukup kuat untuk percaya bahwa pihak-pihak dalam konflik telah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran serta penyiksaan terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak-pihak dalam konflik di Ethiopia telah melakukan tindakan yang merugikan ataupun menganiaya orang lain.

            Sementara itu, Pemerintah Etiopia menutup akses masuk tim UN ke zona konflik, namun dibalik alasan tersebut menurut laporan dari tim UN dimana hasil laporan sangatlah mengejutkan. Tim UN menemukan "kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus pemerkosaan, yang terjadi dengan skala cukup memprihatinkan" hal ini terjadi semenjak konflik meletus, dimana sekitar 20 juta orang di Etiopia membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari lembaga kemanusiaan, yang mana hal ini sekitar tiga perempat dari mereka merupakan kaum perempuan dan anak-anak. Menurut laporan dari tim UN menyatakan bahwa, "Perpecahan yang terjadi secara mendalam serta perseteruan berlandaskan kebencian antar etnis" yang terjadi di Etiopia "telah menghasilkan sebuah siklus kekerasan yang berbahaya disertai dengan adnaya aksi balas dendam". Oleh karena itu sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani pada tanggal 2 November, pemerintah Ethiopia "wajib menerapkan kebijakan nasional yang komprehensif demi mewujudkan proses keadilan peralihan yang mengupayakan pertanggungjawaban, pengungkapan kebenaran, reparasi bagi para korban, rekonsiliasi, dan pemulihan" sesuai dengan Konstitusi Ethiopia dan kerangka kebijakan Uni Afrika.

            Investigasi yang mendalam dan kredibel sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi, traktat perjanjian damai tersebut tidak memberikan mandat kepada PBB atau penyelidikan internasional lainnya. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan apakah mungkin terdapat suatu upaya yang berarti guna memastikan adanya pertanggungjawaban. Bahkan ketika menghadapi berbagai macam persoalan lain yang cukup mencemaskan, Pemerintah Ethiopia tetap harus mempertahankan fokusnya terhadap persoalan yang sangat penting ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline