"Andaikan aku bertemu denganmu terlebih dahulu, aku akan memperjuangkanmu sampai titik dimana aku tak bisa memperjuangkanmu lagi"
Indah memang tapi tampak klise di dengar oleh telinga, sangat tidak enak. Hati berdesir mendengarkan hal itu, hanya saja otak ini bekerja dan berusaha menegur hati yang terlanjur gemetar "memang kau ini pantas sekali bernama Sampah, karena kau tidak kenal kapok dan terus mengulanginya, andaikan namamu ini Harta, kau pasti akan mundur dan bertanya kepadaku terlebih dahulu" otak mulai menyindir dan memperingatkan.
Hilma termangu di pinggir delta menuju sebuah muara kecil di Pulau Lusi, ia hendak berkunjung melintas ke rumah neneknya yang sudah 15 tahun ini tak di huni. Tak hanya rumah neneknya, penghuni lain di sekitar desa rumah neneknya juga sudah mulai ditinggalkan akibat peristiwa kelam semburan lumpur panas suatu perusahaan industri yang tak bertanggung jawab. Kini rumah itu nampak kosong tak berpenghuni, pertokoan sekitar jalan arteri desa juga tampak seperti kota mati. Mengenang memang salah satu tujuannya untuk berkunjung. Ia juga membayangkan sudah sebesar apa kemajuan desa itu andaikata tak ada peristiwa kelam tersebut.
Perjalanan ke Pulau Lusi kali ini tak dilakukan bersama dengan Ayah dan Ibu Hilma, ia melakukan perjalanan seorang diri kembali pulang ke kampung halaman. Awalnya kedua orang tuanya tak menyetujui Hilma untuk melakukan perjalanan seorang diri, setidaknya harus ditemani oleh satu orang teman saja, Hilma mempertimbangkannya baik-baik, mencari seorang teman yang bisa diajak pergi bersama dengannya, hanya saja tidak ada yang bisa menemaninya. Andaikan Ibu dan Ayahnya bisa menemaninya, namun apa daya orang tuanya berhalangan untuk kembali pulang ke kampung halaman.
Singkat cerita Hilma kemudian diberikan ijin oleh Ayah dan Ibu nya untuk melakukan perjalanannya seorang diri ke Pulau Lusi. Hilma meyakinkan mereka kalau dirinya sudah cukup dewasa dan berhati-hati untuk melakukan perjalanan seorang diri. Akhirnya kedua orang tuanya pun menyetujui keberangkatan Hilma. "Baiklah nak, pergilah. Pulanglah sejenak barang seminggu saja, Ayah tahu kau sudah cukup dewasa untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa Ayah dan Ibu. Hati-hati dan segera beri kabar kami jika sudah sampai ya". Hilma menggangguk mengisyaratkan jika ia mengerti kalimat Ayahnya. Ibunya menambahkan "Dan kau tahu, kedua adikmu ini harus Ibu beri alasan apa kalau kau ke Pulau Lusi? Tak mungkin Ibu berkata jujur pada mereka, jika tidak mereka akan mengikutimu dan tak akan masuk sekolah 1 minggu nanti." Hilma hanya tertawa dan mendengarkan pertanyaan ibu dengan menjawab "Katakan saja aku mengajar di pelosok desa karena kegiatan kampus bu, tak mungkin mereka merelakan dirinya untuk mengikutiku".
Tersadar akibat angin yang tiba-tiba agak kencang menyapu wajahnya melalui sela-sela kaca helm yang dibuka lebar, Hilma mulai sadar jika akan segera sampai di tempat tujuan. Turunlah Hilma yang kemudian disambut oleh Pak Jo, seorang yang berprofesi sebagai ojek perahu. Tak asing lagi baginya beliau, seseorang menyapa Hilma dan seorang yang lain tersenyum melihatnya. "Waah apa kabar Hilma? Sudah berapa lama Pak Jo ini tak pernah melihat kau menginjak Pulau Lusi ini hai anak gadis?" Pak Jo mengangkat tangannya tinggi dan melambaikan jari-jarinya. Hilma menanggapi dengan senyuman lebar khasnya. "Iya Pak Jo, 10 tahun mungkin?" Hilma bergurau juga menanggapi pertanyaan Pak Jo. "Ayo kuantar kerumah Mbah mu, naiklah."
Baru saja Hilma menginjakkan kaki di dek perahu, rindu Hilma akan kampung ini terangkat sudah dengan membayangkan suasana sekitar desa menyambut dengan penuh suka cita dan penuh kehangatan. Hilma telah mengagendakan apa saja yang akan dilakukannya selama sepekan ini agar perjalananya tidak terasa sia-sia karena memang itu rencananya. Hanya saja naas, suasana itu sudah usai setelah peristiwa kelam, Hilma hanya bisa termangu merenung sambil memandangi arus air yang menggelombang kecil akibat lewatan perahu.
Saat tiba di lokasi, Hilma hanya beristirahat saja sambil menikmati bekal kesukaannya yang di bawanya dari rumah. Karena perjalanan panjang yang ditempuhnya membuatnya lelah. Tak lupa ia lalu mencuci mukanya di sekitar sungai-sungai kecil yang berada tak jauh dari muara besar tempat hilir mudiknya perahu yang menghubungkan antara Pulau Lusi dengan Desa Tlocor (Desa terdekat sebelum menyebrang ke Pulau Lusi). Tak lupa Hilma mengagendakan untuk pergi ke tempat ia dahulu biasa bermain, Pantai berbatu.
Melihat pemandangan pantai agak asing dan tidak menggairahkan bagi Hilma yang sekarang mulai terbiasa tinggal di Kota Besar kedua di Pulau Jawa. Ia merasa kaget dan hal itu membuat perasaannya lepas, melepaskan semua yang selama ini menjadi beban di hatinya. Ingin diluapkannya perasaan yang terlanjur dalam itu. Membuat dirinya dan beban di hatinya terasa sangat kecil, betapa ia sangat sedih kampung halamannya yang dulu ditinggalinya kini rusak tak hanya karena peristiwa kelam 15 tahun silam.
Kini, bukan hanya rumah yang terendam lumpur, bibir-bibir pantai, cekungan delta serta ujung muara tampak seperti guratan bencana. Kerusakan terjadi dimana-mana. Banyak tumpukan sampah yang terbawa arus hilir sungai terbawa hingga kesini, tak hanya itu, nyatanya orang kota dan masyarakat pulau seberang juga lebih senang membuat sampahnya secara langsung ke Pulau ini. Maklum, selain dinilai gratis tanpa membayar petugas pengagkut sampah juga terbilang lebih simpel jika membuang sampah langsung ke laut.