Lihat ke Halaman Asli

Rizky Hidayat

Perluas Sudut Pandang, Persempit Memandang Sudut.

Spirit Eksistensialis Sartre Pada Ngabuburit Ala Skajal

Diperbarui: 5 Mei 2020   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Spirit religiusitas ala kami Skajal. Foto: dokpri.

"Aku. Aku ada, aku berpikir. Aku ada karena aku berpikir. Mengapa aku berpikir? Aku tak ingin lagi berpikir. Aku ada karena aku berpikir tak ingin ada.." - Jean-Paul Sartre dalam novel Nausea

La Nausea, begitulah judul roman karya Jean-Paul Sartre yang hingga pada akhirnya membekas kurang lebih hampir sepuluh tahun dalam ingatan saya.

Maklum, di jaman awal menginjak bangku SMK, bukannya malah belajar pelajaran umum dan kejuruan, saya lebih tertarik membaca kode alam melalui karangan para filosof. Spontanitas, saat ketertarikan pada novel Harry Potter karangan J.K Rowling yang waktu itu katanya alur cerita di dalam novelnya lebih menarik ketimbang filmnya, seketika tiba-tiba nemu Nausea (sempat juga waktu itu mau ambil Dunia Sophie cuma karena lihat sampulnya yang menarik). Mungkin ini yang dinamakan semesta berkehendak.

Bagi saya pribadi, Nausea punya peran besar dalam membentuk karakter pribadi saya hingga sampai saat ini. Nausea diambil dari bahasa prancis La Nausea yang berarti "muntah" atau "mual" (bermakna jenuh atau bosan). Kita (manusia) ada saat ini, tidak akan pernah ada jika kita tidak mengadakan diri kita pada realita yang ada. Konteksnya, manusia harus berperan dalam hidup ini. Kalau kata Rasulullah dalam hadisnya bermakna "sebaik-baik kita manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia."

Secara esensi, pemahaman seperti itu terlihat sangat baik dan bijaksana namun realita sempat salah tafsir pada saya. Waktu itu, eksistensi ada yang saya terapkan jauh melenceng, bukannya berperan baik malah sebaliknya. Bersama dengan kawan sejawat saya dikampung, dulu kami dikenal dengan sebutan SKAJAL, Skumpulan Anak Jail. Kurang lebih ke-eksistensian-nya yaitu, ngusilin orang.

Eksistensi pengadaan ada waktu itu masih bersifat abstrak. Bahasa intimnya sih labil. Masih meraba-raba. Setara jika di cocoklogikan dengan simbol putih abu-abu bagi kalangan anak SMA setingkatnya. Untung-untung jika eksistensinya ada cuma untuk sekedar tebar pesona. Saya pribadi dan kawan-kawan SKAJAL bukan cuma tebar pesona malah lebih pada bikin usil keadaan. Salah satu puncak ke usilan yang sering terjadi ialah di waktu Ngabuburit saat Ramadan (nyawat batu di kolam warga, usil nyumet mercon, dan lain sebagainya).

Alih-alih ngabuburit, yang ada malah ngusilburit. Burit dalam Kamus Bahasa Sunda berarti ngalantung ngadagoan sore. Dalam tafsir bahasa Nasionalnya yaa kurang lebih bermakna bersantai-santai sambil nunggu waktu sore. Konteks mainstream secara simplifikasinya menunggu waktu berbuka puasa sambil nyantai. Alih-alih nyantai, yang ada malah usil.

Salah satu bentuk mikro-usil kami saat ngabuburit, main di area berbahaya. Foto: dokpri. 

Namun seiring matangnya usia, ditempa dengan realita hidup, kebosanan dan pendewasaan diri. Tibalah pada masa peralihan seperti yang terjadi pada Antoine Roquetin (tokoh utama dalamk novel Nausea). Memaknai simbol eksistensi dengan keadaan. Memaknai simbol keadaan dengan pengadaan peran. Sehingga merasa hidup lebih bermanfaat.

Lokasi favorit kami saat senja di waktu biasa atau ngabuburit saat Ramadan tiba. Foto: dokpri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline