Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.(1)
Sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental, tentu menyebabkan paradigma hukum Indonesia tidak lepas dari nilai-nilai teori positivisme. Dominasi paradigma positivisme dalam sistem hukum indonesia dinilai terlalu kaku dan cenderung membuat aparat penegak hukum hanya berperan sebagai corong daripada regulasi itu sendiri.
Hal ini dinilai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kinerja dan kualitas penegakan hukum di Indonesia. Sehingga penegakan menjadi berfokus pada tujuan kepastian hukum namun melupakan tujuan utama daripada hukum itu sendiri yaitu sebuah keadilan.
Hukum progresif hadir untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat terhadap teori positivisme yang hanya berfokus pada kepastian hukum namun meleset dari nilai-nilai keadilan. Hukum sebagai produk politik buatan manusia tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan penguasa yang membuatnya.
Dengan perkembangan zaman yang semakin maju, tentunya tuntutan keadilan masyarakat akan berubah sesuai dengan moralitas dan norma yang berlaku saat itu. Sebagai produk politik, betapa besar resiko apabila permasalahan di masyarakat sepenuhnya diserahkan kepada hukum. Ketika masyarakat memiliki tuntutan keadilan yang berbeda dari hukum yang berlaku saat itu, berpotensi melahirkan krisis kepercayaan kepada penguasa. Sehingga terjadilah pembangkangan dan pengabaian terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri.
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan dengan pemahaman bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. (2)
Dalam konteks penegakan peraturan daerah, sudah banyak terjadi konflik di masyarakat akibat aparat penegak yang terlalu mempedomani nilai-nilai positivisme. Konflik dan kericuhan bisa dikatakan selalu mewarnai setiap penindakan yang dilakukan aparat penegak peraturan daerah yaitu Satuan Polisi Pamong Praja terutama di kota-kota besar di Indonesia. Salah satu yang terparah yaitu Peristiwa Koja Berdarah di bulan April 2010 yang menelan korban tewas 3 (tiga) orang anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan ratusan lainnya luka-luka. (3)
Terlepas dari unsur-unsur yang melatarbelakangi konflik tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah tingkat potensi konflik yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya menjadikan Satuan Polisi Pamong Praja memiliki citra yang negatif dan cenderung dianggap sebagai musuh di masyarakat.
Bahkan stigma di masyarakat kesan pertamanya ketika diberikan pertanyaan deskripsi Satuan Polisi Pamong Praja justru lebih dikenal sebagai aparat perusak dibandingkan sebagai Penegak Perda, Penyelenggara Ketertiban Umum Ketentraman Masyarakat atau Pelindung Masyarakat.
Stigma Negatif ini dilatarbelakangi oleh oknum-oknum Satuan Polisi Pamong Praja yang melakukan penindakan secara arogan dan tidak mengedapankan Hak Asasi Manusia dan nilai- nilai Humanisme serta cenderung mengedepankan nilai-nilai positivisme mutlak terhadap regulasi.
Sudah saatnya gagasan hukum progresif dijadikan pedoman oleh Satuan Polisi Pamong Praja yang notabene selalu berhadapan dengan masyarakat dalam penegakan peraturan daerah yang mayoritas adalah masyarakat kecil yang lemah. Sebagaimana yang dikatakan Pak Tjip bahwa hukum itu dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Ketika terjadi persoalan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk masuk ke dalam skema hukum. (4)