Ombak pantai terus membasahi kaki Sisi yang sedari tadi dibiarkannya terendam bersama pasir putih di Pantai tak jauh dari tempat tinggalnya. Sudah hampir tiga jam dia duduk sendirian di atas kayu kecil bekas pohon yang tumbang. Tak dipedulikannya panas terik yang menyengati kepala dan tubuhnya, di fikirannya bingung yang teramat sangat.
"Ayah harap kamu bisa terima keputusan ayah. Ayah ingin kamu bahagia nak. Ayah sudah tak mampu menunggu terlalu lama. Kamu harus terima pinangan Tok Ismail sebagai istri keduanya. Dia juga berjanji akan menyekolahkanmu dan membiayai segala keperluanmu di kota nanti."
"Sisi tak mau ayah." Sisi terus menolak dan menangis histeris. Usia 17 tahun adalah usia yang terlalu muda untuk menikah, dia pun belum siap apalagi menjadi istri seorang pria yang sudah dianggapnya kakeknya sendiri.
"Kamu mau ayah dipenjara nak? Kamu tak kasihan dengan ayah?" Pak Rozak memohon kepada anak gadis satu-satunya.
"Ayah jahat! Ayah yang berhutang kenapa sisi yang nanggung yah?"
"Dengarkan ayah nak. Ayah dah sakit-sakitan, ayah takut umur ayah tak panjang. Tolong bikin ayah tenang." Ayah Sisi menangis sesenggukan.
Sisi hanya terdiam menunduk tak berdaya, berfikir apa tidak ada lagi pilihan lain untuknya. Apa harus dengan menikah dengan tok ismail? Kenapa tidak ada orang lain? Kenapa?? Hatinya berteriak tak adil pada takdir hidupnya.
"Ayah juga kasihan melihat kamu tak bisa menyelesaikan sekolah. Pesan emak kamu sebelum meninggal kamu harus menyelesaikan sekolah dan meneruskan cita-cita emak kamu sebagai guru ngaji. Apa kamu tak ingat nak?"
Pak Rozak menyesal telah salah meminjam uang saat istrinya sakit lima tahun yang lalu. Ternyata tok Ismail adalah seorang rentenir yang tak punya hati. Kekayaannya yang tak terhitung banyak di dapat dari uang-uang penduduk yang berkembang menjadi bunga. Sehingga belum sampai setahun hutang pak rozak sudah menjadi berpuluh-puluh juta.
Dia pun tak berdaya apabila anak buah tok ismail datang menagih hutang. Istrinyalah yang terus menutupi hutang-hutangnya yang tak terhitung. Di saat terlalu banyak beban fikiran, istrinya menjadi semakin sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Penyesalan selalu datang di akhir. Namun dia sebagai suami tak bisa berbuat apa-apa.
Sisi bertambah histeris dan terduduk di lantai rumah yang hanya beralaskan tanah. Sakit badannya tak sesakit hatinya saat ini. Dia berlari ke pantai tempat kesukaannya menyendiri. Apa dia akan menerima saja lamaran tok ismail? Apa itu harus demi ayah?