Lihat ke Halaman Asli

Pancasila sebagai Identitas Bangsa di Tengah Globalisasi

Diperbarui: 11 November 2020   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca sebuah cerpen yang berjudul "Cosmopolite in a Cafe". Cerita itu ditulis oleh O. Henry, seorang penulis yang berasal dari Amerika, pada tahun 1906. Cerita itu berkisah tentang seorang karakter fiksi yang bernama E. Rushmore Clogan yang pada suatu malam berada di sebuah cafe.

E. Rushmore Clogan telah pergi ke berbagai penjuru dunia. Di malam itu, dia menceritakan pengalamannya berpetualang kepada orang-orang di mejanya. Masalah datang ketika dia bertanya: "Apakah penting darimana seseorang berasal? Apakah adil menghakimi seseorang dari alamat suratnya?" yang dia lanjutkan dengan memberikan contoh bagaimana beberapa orang yang pernah ditemuinya tidak memiliki sifat seperti stereotip daerah asal mereka.

Sebagai seorang remaja yang masih belum menemukan jati dirinya saat pertama kali membaca cerita itu, saya menjadi sedikit terinspirasi karena cerita itu. Apakah penting darimana kita berasal? Apalagi di jaman sekarang, dimana transportasi dan telekomunikasi sudah sangat mudah.

Di tengah zaman globalisasi seperti sekarang ini, dimana bepergian tidak sesulit dan selama dulu serta komunikasi bisa dilakukan secara instan bahkan dengan seseorang di sisi dunia yang lain, batas-batas geografi seperti tidak ada lagi. Asal daerah hanya berfungsi sebagai penunjuk kemana barang yang kita beli dari toko online harus dikirim.

Tentang stereotip sebuah wilayah, Indonesia sendiri juga punya. Indonesia mempunyai Pancasila. Para pendiri bangsa mendasarkan Pancasila dari budaya orang-orang di Nusantara. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawarakatan, dan keadilan, semuanya berasal dari budaya kita.

Bagaimana dengan sekarang? Dari yang saya lihat, budaya di Indonesia sekarang tidak seperti yang diidealkan. Kebanyakan orang semakin individualistis, agama semakin dianggap remeh, kata-kata kasar di internet dianggap wajar, dan lain sebagainya.

Lalu, apakah Pancasila masih dibutuhkan? Menurut saya, Pancasila masih sangat dibutuhkan bagi Indonesia. Stereotip yang melekat pada seseorang yang berasal dari suatu daerah tertentu seharusnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau sebuah tuduhan yang tidak-tidak.

Stereotip suatu wilayah tidak datang secara tiba-tiba. Untuk seorang individu, sifat atau image akan melekat padanya jika dia melakukan hal-hal yang sama selama bertahun-tahun. Untuk sebuah daerah, stereotip akan melekat pada orang-orang di daerah itu jika mayoritas orangnya mempunyai sifat yang sama, dan berlangsung selama beberapa dekade, tidak cukup hanya beberapa tahun. Terlebih lagi Indonesia, yang mana adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Kata mayoritas tentu tidak menunjukkan jumlah yang sedikit.

Karena hal itu, adanya Pancasila adalah bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar kebudayaan sosialnya. Paling tidak, dulu. Sekarang banyak yang mengeluh bahwa generasi sekarang tidak sebaik generas-generasi sebelumnya. kita dapat menggunakan Pancasila sebagai acuan refleksi kita dan untuk mengetahui potensi bangsa kita yang sebenarnya.

Memiliki Pancasila adalah sebuah kehormatan dan kita berhak untuk bangga akan hal itu. Namun, Pancasila itu hidup, dan sesuatu yang hidup mungkin akan mati. Pancasila akan mati jika kita sendiri tidak menjaganya.

Untuk menjaga agar Pancasila tetap hidup tidak cukup dilaksanakan hanya oleh satu orang. Tetapi, tanpa dimulai dengan satu orang, usaha kita tidak akan kemana-mana. Maka, kita, termasuk saya sendiri, punya tanggung jawab akan hal itu. Kalau tidak, taruhannya adalah harga diri bangsa kita sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline