Flashback sedikit tentang keinginan Bupati untk menunda jalannya Pilkades serentak tahun 2023. Melalui Surat Mendagri No. 100.3.5.5/244/SJ tertanggal 14 Januari 2023 yang sifatnya segera perihal "Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa pada Masa Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024". Merespon surat tersebut bupati telah mengeluarkan peraturan pelaksana sebagai Amanah Pasal 4 ayat (3) Perda 6/2019 yang mengatur jalannya Pilkades Serentak melalui Perbup 4/2023 yang ditanda tangani pada 11 April 2023.Secara timeline Bupati dan perangkatnya membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan untuk menyiapkan semuanya.
Perkembangan semakin menarik dengan diketahuinya niat Bupati untuk membatalkan pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa serentak. Hal tersebut bisa dengan jelas dan nyata kita saksikan melalui surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Bupati tertanggal 25 Mei 2023.
Ntah apa maksudnya namun surat pernyataan yang dikeluarkan jika meminjam istilah Dr. Zainal Arifin Mochtar "ugal-ugalan" atau klo dalam bahasa penulis dikeluarkan dengan "serampangan" untuk menjadi penegasan bahwa bupati dengan jabatannya mengikatkan dirinya untuk membatalkan jalannya Pilkades serentak pada tahun 2023. Mengapa demikian ? hanya dengan waktu kurang lebih satu bulan bupati tiba2 menganulir Perbup yang dikeluarkannya untuk menunda pelaksanaan Pilkades serentak.
Berkaitan dengan hal tersebut ada 3 hal yang menjadi point penting untuk penulis sampaikan.
1.PELANGGARAN TERHADAP PERATURAN DAERAH 6/2019 TENTANG PEMIIHAN KEPALA DESA.
Dalam lampiran Perbup 4/2023 tahapan pemilihan kepala desa serentak dimulai sejak BPD memberikan surat pemberitahuan tentang akhir masa jabatan Kepala Desa. Atau lebih teknis lagi dalam lampiran Perbup tersebut Pemda sejak tanggal 28 Mei 2023 mulai untuk melaksanakan sosialisasi jadwal Pilkades serentak.
Secara Normatif sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c,maka ruang lingkup Pengawasan DPRD setidaknya meliputi 3 hal yakni, Pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah, Pengawasan terhadap Pelaksanaan APBD dan Pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.
Secara kelembagaan pendekatan pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah merupakan pengawasan Lembaga politik dan perwakilan terhadap Lembaga publik (pemerintah daerah).
Pengawasan DPRD tujuannya tentu untuk menjaga Check and Balance antara lembaga penyelenggara pemerintahan di daerah agar kekuasaan yang dimilikinya tidak digunakan secara tirani dan dapat di kontrol. Pengawasan politik DPRD juga bertujuan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang di hasilkan oleh pemerintah daerah tidak menyimpang dan merugikan kepentingan publik. Yang pengaturan dan mekanismenya diatur dalam UU MD3 (UU 13 Tahun 2019 sebagaimana merupakan perubahan ketiga UU 17 Tahun 2014).
Sehingga jelas DPRD dalam hal ini harus menggunakan haknya dalam Pasal 371 (Interpelasi, Angket dan menyatakan pendapat) untuk menindak lanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh Pemda perihal ketidakpatuhannya terhadap pelaksanaan Perbup yang telah dibuatnya sendiri. Sekalipun tahapan dalam mekanisme pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah tidak pada posisi memberikan sanksi bila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Sehingga hal yang dapat dilakukan DPRD dalam menjaga tugas dan fungsinya apabila kedepan Bupati mengeluarkan Perbup untuk membatalkan Perbup sebelumnya (Perbup 4/2023) maka DPRD setelah menjalankan haknya setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan. Yang menurut Prof. Jimly disebut sebagai legal norm control mechanism. Pertama yakni control Yuridis (Judicial Review) adalah mengambil jalan Pengujian Pembatalan Perbup yang membatalkan pelaksanaan pilkades ke Mahkamah Agung (Pasal 31 Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004).
Kedua, Kontrol administrasi, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang- undangan oleh eksekutif atau lembaga administrasi yang menjalankan fungsi "bestuur" dibidang eksekutif. Dalam hal ini gubernur memiliki kewenangan untuk membatalkan keberlakukan Perkada (Pasal 251 (ayat 2) UU 23/2014, lebih teknis diatur dalam permendagri 120/2018).