Karya : Rizky Wardhana
“Ibu, aku rindu ayah.” terdengar sayup-sayup jeritan hati anakku yang baru saja terlelap usai isak tangisnya yang bergema.
Menjadi seorang ibu yang merangkap tugas seorang ayah sangatlah berat bagiku, namun memang harus kujalani, tanpa keluhan-keluhan yang nantinya akan melahirkan beban. Padahal belum lama. Duniaku terasa benar-benar terguncang akibat peliknya liku-liku hidup yang tak tahu kapan akan berjalan normal kembali. Anakku kehilangan wujud asli sang ayah, bukan karena ayahnya meninggalkan dunia ini, namun ia menghilang dari dunia kami, keluarga kecilnya.
“Bu, kapan ya aku bisa punya handphone lagi? Teman-temanku semuanya sudah punya, hanya aku saja yang harus pergi ke sekolah setiap hari untuk mendapatkan info pekerjaan rumah, ternyata aku sangat butuh handphone untuk belajar di tengah pandemi ini.” keluh anakku di bawah naungan langit mendung ketika kami sedang asyik-asyiknya menikmati kesyahduan petang ini.
Aku tersenyum, layaknya si pemberi solusi yang menenangkan anakku. Ia kembali merebahkan kepalanya di pangkuanku.
“Tapi ibu salut sama kamu, meskipun tidak ada handphone, rapor bulanan kamu selalu mendapat nilai tertinggi di kelas. Itu membuktikan akan ada kemudahan di balik kesulitan. Kamu sabar, ya. Intinya ibu kan tetap membimbing kamu dalam belajar.” kembali kuelus kepala anak semata wayangku yang sudah berusia 13 tahun ini. Laki-laki hebat yang kuharap kelak tak seperti ayahnya.
“Andai ayah masih ada bersama kita, ya, Bu”, lanjutnya.
Benar, yang anakku tahu, ayahnya telah tiada.
Tepat satu bulan yang lalu, kami mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia akibat terkena virus Covid-19 yang sedang marak dibicarakan di seluruh pelosok dunia. Waktu itu sudah dua minggu lamanya ia memang tidak pulang ke rumah. Tidak ada kabar burung sama sekali, dan tiba-tiba aku dan anakku mendapat kabar bahwa ia meninggal dunia. Aku mencoba meyakinkan anakku bahwa virus itu benar-benar berbahaya dan tak kuizinkan anakku melihat jasad ayahnya yang katanya telah tiada. Dia paham dan mencoba mengikhlaskan meskipun harus rela untuk tidak melihat jasad ayahnya untuk terakhir kalinya.
Aku tahu, ada tipu muslihat yang disusun rapat oleh lelaki yang ingin sekali kupanggil bangsat. Aku mencintainya, sungguh, sangat mencintainya sampai detik dimana aku tahu bahwa dia berkhianat. Tepatnya ketika anak kami berulang tahun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami selalu membuat acara sederhana untuk keluarga kecil kami. Sederhana namun kaya akan makna. Sebagai bentuk rasa syukur kami telah diberi kesehatan yang tiada henti.