Beberapa waktu yang lalu Ioanes Rakhmat, seorang Pengamat dan pemapar perkembangan sains modern mencoba mengungkapkan tafsirnya atas sekutip ucapan Cak Nun yang ia dapati di media online berikut ini :
“Ada tamu datang membersihkan rumah, dan secara canggih dan tegas mengusir tikus-tikus. Kami sekeluarga terpesona. Kami menerimanya sebagai keluarga. Karena tamu itu lebih menguasai pengelolaan rumah dibandingkan kami sekeluarga. Akhirnya, rumah kami menjadi rumahnya. Dan kami numpang. Berkat kebaikan hatinya.”
Ioanes nampak begitu antusias mendapati kutipan tersebut. Sontak, ia seperti menemukan korelasi antara kutipan tersebut dengan situasi kontemporer yang sedang riuh di senatero negeri saat ini: DKI 1. Ioanes menafsiri bahwa subyek yang di maksud di dalam kutipan tersebut adalah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Berikut kutipan penafsiran Ioanes tersebut :
Nah, saya kini bisa memastikan bahwa “tamu” yang dimaksud EAN pada meme-nya di atas adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok. Maaf, jika saya salah mengidentifikasi! Tapi, Apakah ada sosok lain yang pas selain Ahok, katakanlah misalnya Hary Tanoe, atau mungkin Samadikun Hartono yang baru pulang ke Indonesia setelah “berlibur sangat panjang” lebih dari 10 tahun di RRC ketika presiden NKRI sudah berganti?
Kemudian dalam imajinasi penafsirannya, Ioanes membandingkan bayangan situasi kedatangan tamu pada kutipan itu adalah sama seperti kedatangan para pekabar Injil di Afrika Selatan. Mereka datang dengan kedok mengajarkan kitab suci sambil diam-diam mengambil alih pemilikan tanah. Pada paragraf dibawahnya Ioanes menulis :
Para pekabar injil yang datang ke Afsel di era gerakan Desmond Tutu, dan di era jauh sebelumnya, adalah memang orang-orang asing, para tamu, yang bertujuan menjajah Afsel dengan mula-mula memakai jubah agama dan membawa aksesoris agama. Tidak ada cinta dalam diri mereka terhadap rakyat Afsel.
Sebaliknya, Gubernur Ahok sama sekali bukan tamu, bukan orang asing, bukan pendatang, juga bukan penjajah berjubah agama. Ahok itu WNI yang mencintai NKRI dan bangsa Indonesia, khususnya penduduk DKI dan lebih khusus lagi rakyat miskin di Jakarta yang semula tidak punya tempat tinggal yang sah dan tidak punya rumah sendiri yang layak.
Bagi saya, penafsiran yang dibuat Ioanes ini menarik. Konteks yang ditarik sangat relevan dengan pemberitaan kontemporer saat ini. Terlebih ia nampak demikian percaya diri dengan pendapatnya tersebut, bahkan tak tanggung-tanggung ia pun sampai memasti-mastikan pendapatnya tersebut.
Menurut saya, Ionaes sah-sah saja menghadirkan kasus di masa Desmond Tutu di dalam imajinasinya sebagai alat komparasi bagi konstruksi penafsirannya tersebut. Pun demikian, ia sah-sah saja menggunakan produk penafsirannya itu untuk menyiratkan dukungan pribadinya kepada Ahok sebagaimana ia ulas panjang dan lebar pada paragraph-paragraf selanjutnya.
Kemudian, dalam paragraf pamungkasnya, Ioanes menyampaikan :