Lihat ke Halaman Asli

Aku Iri Kepadamu Anak-anak di Perbatasan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Telinga kalian tidak bising oleh raungan kendaraan bermotor, tidak sepertiku disini. Bagaimana aku tidak iri kepada kalian coba? Saking terbiasanya aku dengan kebisingan, sampai-sampai disaat heningpun, telingaku begitu tidak pandainya mendengarkan bisikan hati nuraniku sendiri.  Walhasil, aku tumbuh menjadi pribadi bimbang, takut berkeputusan, lambat memilih tindakan dan kebanyakan tingkahku hanya ikut-ikutan.

Beban kerja hidung dan instrumen pernafasan kalianpun tidak perlu harus ditambahi demikian berat dengan polusi asap karbon produk dari peradaban modern. Bulu hidung kalian bersih, rongganyapun bersih, tidak ingusan seperti aku anak ingusan ini.

Kalian juga tak perlu mengeluh kalau disana tak ada jalan aspal semulus ditempatku. Karena memang untuk apa semua itu bagi kalian coba? Disini jalan beraspal begitu berarti untukku berlelah-lelah mencari ruang publik, memburu lahan hijau. Sedangkan kalian, cukup kau buka pintu dan jendela rumah, itu sudah ruang publik hak penuh kalian tak ada yang mengganggu. Begitupun cukup ayunkan sepuluh dua puluh langkah kaki, pepohonan hijau bukan hanya teduh merindangi kalian, bahkan kalian bisa memanjatinya, memeluk, mencandainya sepuas kalian.

Aku iri pada kalian, yang tak pernah bercita-cita menjadi dokter, karena kalian tak pernah melihat sosok dokter. Jangankan melihat langsung, dilayar kacapun mungkin tidak. Apa jeleknya tak pernah melihat dokter, tak pernah bersentuhan dengan polisi, tak pernah dijamah pejabat, kalau dengan itu kalian menjadi bebas untuk menjadi yang betul-betul kalian mau, tidak mengekor, ikut-ikutan orang lain.

Ladang kalian tak dijamuri minimarket dan deretan ruko-ruko. Terasa lapar sedikit saja tinggal kalian petik seisi ladang, padukan dengan sekail ikan pancingan, tak perlu merogoh kocek sedikitpun, perut bisa kenyang. Betapa kayanya kalian coba?

Anak-anak perbatasan, kalian tak pernah turun dari kereta sambil berjalan setengah berlari memburu waktu sampai tak menyempatkan senyum dan menyapa kanan kiri. Ucapan "Selamat Pagi Bapak!" yang biasa kau dendangkan itu lebih indah karena ketulusannya ketimbang ratusan lirik lagu Pop yang aku hafalkan.

Anak-anak perbatasan, aku ingin menyapamu, menyampaikan curhatku ini langsung padamu, bahwa betapa irinya aku padamu, yang tak terusik oleh gonjang-ganjing berita permasalahan artis, kelucuan politisi dan kekejaman negara penguasa dunia.

Setidaknya, aku ingin mengenal dan memegang teguh karakterku, tanpa harus terombang-ambing kebimbangan oleh gelombang ikut-ikutan disekelilingku yang tak jelas muaranya. Menjadi manusia berkarakter, berkepribadian, bercirikhas ketulusan, sepertihalnya kalian

Purwokerto,8 April 2011

Tulisan ini dihadiahkan untuk Bapakku yang berulang tahun hari ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline