Dalam teori ekonomi politik yang menjelaskan soal perkembangan kapitalisme kontemporer, ada satu rumus yang muncul dan menjadi pijakan penting. Rumus ini adalah rumus umum untuk menjelaskan proses akumulasi kapital, yang menjadi dasar penting bagi sistem produksi kapitalis, yaitu:
M-C(LP+MP)...P....C'-M'
dimana:
M=Money/Modal
C=Commodity
LP=Labour Power/Buruh
MP=Means of Production/Teknologi Produksi
P=Production
M'=Transformed Money (M+Profit)
Saya iseng-iseng mengotak-atik sirkuit tersebut dan ternyata kita bisa menggunakan rumus di atas untuk menjelaskan bagaimana seorang Ketua terpilih di Muktamar. Artinya, proses pemilihan Ketua Umum KAMMI di Muktamar adalah proses yang sangat kapitalistik. Seorang Ketua Umum KAMMI, dalam relasi produksi ini, adalah orang yang mengoperasionalisasikan 'mesin' produksi pada organisasi yang ia pimpin. Pemilik modal, dalam hal ini, adalah elit partai tertentu yang dekat dengan gerakan tersebut, atau kekekuatan politik lain yang juga punya kepentingan tertentu dalam meng-kapitalisasi gerakan bagi keperluan dirinya atau kelompoknya. Di sini, kita akan memahami 'kapitalisme' sebagai sebuah relasi produksi yang mentransformasikan uang menjadi 'keuntungan'. Apa yang saya tulis ini sifatnya teoretis dan hipotetis saja, jadi benar atau tidaknya bisa dilihat di Muktamar nanti atau prosesi Muktamar selama ini. Hipotesis (1): Sebuah partai yang punya pengaruh tertentu ke kader memiliki kepentingan untuk mengakumulasikan dukungan dari organ gerakan mahasiswa tertentu. Oleh sebab itu, ia menginvestasikan sejumlah modal (Kita akan menyebutnya sebagai M) . Untuk mengakumulasikan dukungan tersebut, maka ia harus mengubah dukungan menjadi 'komoditas' yaitu posisi Ketua Umum KAMMI. Untuk memenangkan proses muktamar tersebut (yaitu dengan dukungan awal cara mengubah dukungan M/Modal Dukungan menjadi M' atau Modal+Dukungan Tambahan, ia harus setidaknya memiliki dua hal pokok: LP (Labour Power/buruh) dan MP (Means of Production/teknologi). LP di sini bisa berbentuk para 'operator' atau 'tim sukses' yang dipilih oleh pemilik modal untuk mengakumulasikan modalnya. Tapi, tentu saja tidak hanya perlu tim sukses. Ia juga memerlukan 'Means of Production' yaitu teknologi penundukan kader via taklimat/instruksi sakti yang dikirimkan oleh para buruh/labor kepada para kader yang taat dan militan, sehingga sudah ter-frame bahwa calon yang resmi didukung adalah kandidat tersebut. Proses tersebut berlangsung melalui produksi, yaitu Muktamar. Muktamar akan menghasilkan C' (komoditas yang ditransformasikan), yaitu dukungan suara yang besar di Muktamar sehingga membuat yang bersangkutan terpilih menjadi Ketua Umum. Namun, karena ada M (saham) yang ditanamkan oleh elit partai tersebut, KAMMI harus mengembalikan M tetapi disertai dengan profit yang sesuai dengan kepentingan pemilik modal tersebut. Hipotesis (2): Seorang Kandidat Ketua Umum bisa jadi ndak punya modal awal dari elit partai tersebut, tetapi dia memiliki 'modal' dalam bentuk yang lain dan dari sumber yang lain. Kita juga akan menyebutnya sebagai M. Untuk mengkapitalisasinya, maka ia juga melakukan logika yang sama dengan mengubah Modal menjadi Komoditas. yang memerlukan juga setidaknya dua hal, LP (tim sukses) dan MP (strategi pemenangan). MP di sini bersifat lebih sulit, karena yg bersangkutan harus membuat teknologi penundukan kader tertentu agar mereka bisa dialihkan dari Jika ia sudah berhasil mendapatkan dua hal tersebut, maka ia harus menjadikannya sebagai Komoditas (Ketua Umum gerakan mahasiswa) dan dengan posisinya sebagai gerakan mahasiswa ia memiliki mobilitas ekonomi/politik yang lebih luas untuk ke depannya. maka dari itu, ia mentransformasikannya menjadi komoditas riil melalui proses produksi, yaitu muktamar. Jika ia berhasil memenangkan proses produksi tersebut, ia punya kesempatan untuk mengembalikannya menjadi Modal awal yang tentu saja, akan ditambah dengan profit. Catatan: M tidak melulu berbentuk uang real, tapi bisa saja yang equivalen dengannya. Begitu juga Profit. Jika dua hal di atas ternyata selama ini terjadi, maka kita akan berkesimpulan bahwa selama ini, ternyata Gerakan Mahasiswa masuk pada lingkaran produksi kapitalis yang ditanamkan oleh partai politik. Apalagi jika ternyata M yang tertulis di atas, ternyata memang benar-benar M dalam bentuk real (uang). Dua proposisi di atas akan menjadikan Muktamar tidak lagi sebagai medan pertarungan gagasan (bisa jadi gagasan2 tertentu soal independensi dsb, dalam relasi produksi seperti ini, hanya dijadikan sebatas retorika untuk menundukkan pikiran kader). Dalam relasi produksi seperti saya uraikan di atas, KAMMI sebagai gerakan Mahasiswa hanya menjadi 'buruh' yang mengakumulasikan kapital dari partai politik. Hal semacam ini akan mengalienasi GM dari konstituennya sebenarnya, yaitu rakyat yang ditindas oleh struktur sosial saat ini. GM yang menjebakkan dirinya pada relasi produksi kapitalis semacam ini, melalui proyek anggaran atau patronase dengan partai politik, hanya akan melihat rakyat pada sisi 'untung-rugi'. Apakah bergerak untuk rakyat itu akan menguntungkan bagi posisi ekonomi-politiknya, ataukah justru rugi. Bisa jadi, Gerakan Mahasiswa mengemas aktivitas2 kerakyatan itu dalam bentuk Community Development, misalnya, yang sifatnya programatik, tetapi karena ia terikat pada relasi produksi yang, secara sadar atau tidak, mengharuskannya untuk mengubah apapun menjadi profit, maka yang ia lakukan tak lebih dari sekadar membuang uang kepada masyarakat tanpa sama sekali ada dimensi emansipatif terhadap kondisi masyarakat yang ada.
Bagaimana Nilai 'Ketua Umum KAMMI Pusat' Ditentukan dalam relasi produksi di atas? Jika kita memahami 'Muktamar' sebagai sebuah proses transformasi komoditas ('suara peserta muktamar') menjadi profit, maka yang akan menjadi catatan penting adalah bagaimana kita menilai Ketua Umum KAMMI Pusat. Dalam relasi produksi yang kapitalistik di atas, ada tiga nilai yang perlu diperhatikan jika seseorang ingin menjadi Ketua Umum KAMMI Pusat: (1) Kekuatan Kader/Labor Power; yaitu dalam hal ini AB2 dan AB3 yang ikut muktamar. (2) Teknologi Penundukan/Bio-Power, dalam hal ini deal yang diatur melalui pertemuan setengah kamar atau Taklimat; dan (3) nilai lebih/surplus value yaitu selisih antara nilai komoditas dengan nilai tenaga buruh. Relasi ini dapat diturunkan dalam persamaan berikut:
c=LP+MP+s
dimana
C=Commodity LP=Labor Power MP=Means of Production s=Surplus Value
Dengan demikian, rumus tersebut dapat dialihbahasakan sebagai berikut: Ketua Umum KAMMI Pusat=Dukungan Kader+Strategi Penundukan+operasi pemenangan. Setelah Ketua Umum didapat dan kepengurusan dibentuk, logikanya adalah logika akumulasi. Pada titik ini, kita akan mengenal istilah Laba (profit) yang merupakan selisih antara M' dengan M yang ditransformasikan dalam komoditas. Seorang Ketua Umum KAMMI Pusat, baik yang diinvestasikan oleh partai maupun yang diinvestasikan secara individual, tentu punya tendensi untuk mendapatkan Laba. Tingkat Laba tersebut dicapai melalui relasi produksi yang kompleks. dalam sirkuit M-C-M' sebagaimana diungkap di atas, Laba bisa diturunkan ke dalam rumus M'-M. Seorang Ketua Umum KAMMI Pusat mendapatkan labanya dari transformasi komoditas (posisi Ketua Umum) menjadi Profit, yang bisa dilakukan melalui dua cara: (1) Mencari keuntungan finansial (uang) dari aktivitas gerakan yang dilakukan, dari aksi, demonstrasi, seminar, hingga comdev-comdev. Pada titik ini, gerakan mahasiswa bersinggungan dengan 'proyek'; (2) 'menggarap proyek-proyek dari luar pada modus yang sama. Pada intinya, sesuatu yang didapatkan dari 'kapital' akan beranak-pinak. Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa gerakan mahasiswa setelah tahun 1998 sangat akrab dengan 'proyek'. Proyek adalah manifestasi dari transformasi 'komoditas' menjadi profit, sehingga bisa digunakan untuk mengkapitalisasi gerakan. Proyek bisa berupa proyek politik, gerakan, hingga anggaran. Bagi partai politik, dengan menguasai saham di gerakan mahasiswa, ia dapat keuntungan berupa massa. Oleh sebab itu, partai tak segan menginvestasikan dana untuk menggaet massa yang bisa ia kapitalisasikan ketika tiba waktunya (Pemilu). Di sisi lain, mahasiswa juga perlu dana yang ia dapatkan dari partai tersebut. Jadilah gerakan mahasiswa terjebak pada lingkaran tak berujung proses kapitalisasi gerakan. Ini menandakan, meminjam Lacan, gerakan mahasiswa menjadikan 'uang' sebagai 'penanda-utamanya'. Dengan itu, mahasiswa harus mengkapitalisasi gerakan agar bisa eksis. Wajar, jika ada calon Ketua Umum KAMMI Pusat di atas forum menyatakan 'independensi itu sesuatu yang naif'. Ia menyatakan kenaifan itu karena memang ia punya kepentingan untuk mengkapitalisasi gerakan demi kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan cara berpikir demikian, ia akan menganggap independensi itu 'naif', karena baginya independensi tidak bisa ditukar dengan uang. Kapitalisme memang mengharuskan segala sesuatunya bisa ditukar dengan uang. Tetapi, jika kita ingin memutus sirkuiasi modal-kapital tersebut, justru calon yang bersangkutan-lah yang naif. Ia hanyak 'budak' dari lingkaran produksi kapitalisme yang excessive. Bagaimana Jalan Keluarnya? Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah bagaimana mengeluarkan GM (KAMMI) dari jebakan-jebakan politik patron-klien yang kapitalistik di atas. Ada dua cara yang bisa dilakukan: Pertama, melakukan kontrol atas proses produksi (Muktamar) yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang masih peduli dengan KAMMI. Tawaran untuk 'kembali ke Konstitusi' bisa menjadi salah satu opsi wacana yang digaungkan untuk menghancurkan struktur modal yang selama ini memenjara KAMMI. Kedua, melakukan transformasi 'kultural', yaitu dengan membangkitkan kembali penanda-penanda utama baru yang selama ini direpresi oleh 'modal' tersebut. Tawaran kedua sudah secara panjang lebar saya jelaskan dalam 4 seri tulisan sebelumnya. Dengan cara pandang tersebut, maka kita akan melihat formula yang sama dalam bentuk yang berbeda:
M-C(LP+MP)...P....C'-M'
dimana:
M dan M' berada dalam kontrol buruh (kader KAMMI), dimana proses transformasi M-C-M' dikontrol dari kader, oleh kader, dan untuk kepentingan kader secara kolektif.
Di sini, upaya penguasaan M oleh orang-seorang digantikan dengan penguasaan berbasis 'konstitusi' dan 'penjagaan nilai'. Dengan catatan, proses internal kader sendiri dibuat terbuka dan demokratis, di mana setiap kader punya kebebasan untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan identitasnya. asalkan berada dalam koridor konstitusi organisasi. Maka, yang terhampar kemudian adalah subjektivitas KAMMI. Bisakah KAMMI, kemudian, mengidentifikasikan dirinya benar-benar sebagai 'subjek' yang berada pada relasi produksi kapitalistik, dan pada perkembangannya kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari rakyat yang tertindas,dan artinya, membunuh potensi mobilitasnya untuk masuk ke kelas yang lebih tinggi? Ahmad Rizky M. Umar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H