Lihat ke Halaman Asli

Keadaban Hakim Pra Peradilan

Diperbarui: 13 Oktober 2015   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa kabar hukum? apa kabar juga hakim dan lembaga peradilan penegak kebenaran di Indonesia ? semoga predikat tangan Tuhan pembawa risalah hikmah keadilan masih dominasi nurani dalam pengambilan keputusan hukum di negeri ini. Negara ini sedang menjalankan proyek pemerintahan, yang di sebut revolusi mental. Agenda revolusi tengah berlangsung, dan semua kita berada di dalamnya. Sebagaimana revolusi-revolusi di negara lain belahan dunia. Revolusi menjanjikan perubahan yang serba cepat dan berkeadilan. Namun, tak disangka ternyata keadilan lebih mudah didapatkan diluar pengadilan.

Johan Budi (Kompas, 5/6/2015) bahwa kemunculan praperadilan menciptakan gelombang kecepatan atau keterhambatan berbagai kasus korupsi. Sejumlah fakta pun alami kecenderungan menjungkirbalikkan tatanan yang sudah sangat mapan sebelumnya, seperti undang-undang 20/2001 tentang pemberantasan korupsi. Tetapi salasatu sisi lain, praperadilan telah membongkar paradigma pondasi hukum dan perubahan tindakan hakim yang dianggap sudah di rel yang benar. Maka menurut kondisi sekarang, konsep revolusi mental hakim lebih menarik melakukannya tanpa beradu kuat sehingga lebih pada akuntabilitas maupun ketangkasanya untuk pertahankan eksistensi, entah itu cara yang benar atau salah. Tujuannya untuk memberikan orientasi hukum yang jelas.

Kita masih ingat dan segar dalam ingatan, berawal dari tinta merah para pejabat, berakhir hanya pada opini. Walaupun ada yang di tetapkan tersangka oleh penegak hukum. Gonjang ganjing pun berlangsung, media tak pernah absen mengangkat berbagai isu korupsi dan prokontra praperadilan, sampai pada titik kesimpulan lembaga penegak hukum harus menghadapi resiko ketetapan hukum juga. Meskipun ketetapan putusan tersebut tanpa didasari legal konstitusi sesuai KUHP maupun KUHAP. Coba saja tengok proses praperadilan para pelaku kejahatan korupsi, mereka leluasa melakukan proses praperadilan sehingga berdampak besar pengaruhnya terhadap lembaga penegak hukum yang ditandai oleh banyaknya pelaku tindak pidana korupsi melakukan upaya praperadilan. Di sisi lain, ada positif juga ketika berharap pada hadirnya rasa keadilan di tengah masyarakat.

Revolusi mental yang kini menghebat dianggap poros perubahan peradaban dan proses penciptaan manusia berkeadaban, utamanya yang paling menonjol adalah kecepatan (acceleration), mempersempit ruang keadilan hukum, kejahatan dibiarkan jadi tontonan, siapa cepat ia dapat, siapa kuat ia menang. Siapa yang paling menonjol dan diharapkan serta bisa mengamankan kepentinganya maka iapun akan bisa menggeser kepemimpinan lembaga penegak hukum. Cara-cara kejahatan yang memimpin lembaga penegak hukum, pastiditerpakasus yang di penuhi kejahatan juga.

Menurut Indriyanto Seno Adji (Kompas, 5/6/2015) mengatakan bahwa hukum yang baik tidak terletak pada apa yang tertulis secara indah, tetapi apa yang telah diimplementasikan dengan baik oleh aparatur penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana, hubungan hukum dengan hakim memiliki irama searah, baik itu untuk kepastian hukum maupun tuntutan keadilan bagi masyarakat. Hukum dan hakim itu ibarat hubungan antara orangtua dan anaknya, terikat suatu hubungan yang dinamis, karena itu perkembangan segala permasalahan hukum akan senantiasa terlihat pada peran aktif dari hakim. Namun, peran aktif hakim sebagai freedom of judges itu selayaknya tidak dimaknai dengan tanpa batas karena kebebasan itu memiliki batas-batas yang tidak menimbulkan suatu kebebasan yang mencerminkan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) ataupun abus de droit (sewenang-wenang), khususnya dalam kerangka pelaksanaan upaya paksa (coercieve force atau dwang middelen) terhadap tersangka.

Dari banyak kasus, perbuatan yang sengaja di rancang untuk merugikan pihak lain dengan tujuan menguntungkan diri sendiri.Sekalipundi selimuti oleh berbagai cara yang menurut hukum itu sah, tetapi itudisadarikejahatannya. Tengok saja, persoalan praperadilan kasus korupsi yang di berikan perluasan hak kepada para tersangka oleh hakim dengan mengabulkan tuntutan agar di bebaskan dari status tersangka.

Praperadilan ibarat “bom” waktu yang secara bersama–sama melakukannya, siapapun yang menjadi tersangka. Anehnya, level pengkorupsiannya tinggi bahkan triliunan memenangkan praperadilan, sementara kasus masyarakatkecil, contohnyasepertinenek Ronggeng (inisial) malang beberapa waktu lalu berniat praperadilan oleh lawyer yang mendampinginya, tetapi mendapat penolakan dari majelis hakim. Padahal nenek Ronggeng hanya mengambil mangga hendak berbuka puasa. Jauh perbandingan antara hukum berkeadilan dan beradab. Ada positif dan negatifnya terbukanya upaya praperadilan. Positifnya menguntungkan pejabat yang melakukan accupational crime dan negatifnya merugikan masyarakat dari seluruh kasus yang ada.

Sebagaimana kita ketahui, masih banyak lagi orang-orang yang di duga kuat telah melakukan korupsi dan masih dibiarkan saja, mereka seolah-olah tidak mengenal hukuman. Sikap pengadilan seakan–akan sengaja melawan rasa keadilan masyarakat yang semakin memperkuat kecurigaan bahwa pengadilan di Indonesia tidak beres dan hampir dapat di pastikan, bahwa hal itu terjadi bermuara pada hakim sebagai pemutus perkara.

Sebagaimana dikisahkan Tubagus Roni Rahman Nitibaskara (2001:6) bahwa jabatan hakim itu merupakan alat kebebasan hakim yang di pertanggungjawabkan kepada Tuhan langsung, manusia tidak berwenang mencampurinya. Padahal kita semua tahu, hakim hidup di bumi, bergaul dan berhubungan sesama manusia. Menurut keyakinan agama yang dianut sebagai sumber hukum, tugasutama hakim adalah menegakkan hukum berkeadilan tinggi (high justice law) dan tugas hakimpun dapat dimintai pertanggungjawaban oleh manusia atau lembaga penegak hukum lainya (baca:rakyat).

Coba saja kita bayangkan kalau praperadilan menjadi tolak ukur terbebasnya koruptor. Tentu akan membawa mudharat bagi perjalanan hukum negara. Taufiqurrahman Ruki pun pimpinan KPK sekarang mengatakan bahwa putusan praperadilan yang tidak sah mengacaukan 371 tindak pidana korupsi yang punya kekuatan hukum tetap sejak 2004 jadi tidak sah.Sehingga prilaku dan gelombang praperadilan membahayakan masa depan penegakan korupsi. (Kompas, 26/5/2015)

Dalam konteks prilaku, perbuatan hakim dalam memutus suatu perkara bisa saja menyimpang dari tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Putusan yang dijatuhkan itu bisa jadi semata-mata di landasi oleh alasan pokok untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Sehingga putusan itu tidak lain hanya perwujudan dari kecenderungan–kecenderungan pribadi hakim yang secara substansial, jelas merugikan pihak lain. Hakim yang memutuskan perkara demi kepentingannya sendiri maupun kelompok yang merudikan orang lain atau mengacaukan sistem lembaga hukum, maka dapat dikatakan secara otomatis telah melakukan accupational crime.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline