Lihat ke Halaman Asli

Rizki Saputra

Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Novel: Kesempatan yang Hilang

Diperbarui: 28 Maret 2020   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kesempatan_yang_hilang - ILUSTRASI PRIBADI

Menghindar dari Perasaan

            Masa kanak-kanan dengan segala kesenangannya adalah masa telah berlalu, dan tentu semua orang sangat menyesalkan berlalunya masa tersebut. Karna hanya di masa itu orang-orang bebas tertawa tanpa beban setelahnya, tanpa tanggungjawab yang dipikulnya, dan tanpa harapan yang membuatnya hilang arah dan tujuan. Masa kanak-kanak bagi Gibran (nama samaran karena penikmat karya Khalil Gibran) adalah masa keemasan yang bebas dari rasa duka dan kekecewaan.

            Namun waktu tak kenal masa-masa itu, ia terus berputar meninggalkan semua itu seolah-olah tak terjadi apa-apa di sana. Baru menginjak usia dewasa, Gibran merasa dunia ini dengan segala permasalahan dan beban menimpa dirinya. Bagaimana tidak... Di detik-detik terakhir perkuliahannya, ia malah melakukan tindakan yang sangat merugikan bagi dirinya serta akan membuat sedih keluarga dam teman-temannya. Sebagai salah satu mahasiswa dengan nilai yang selalu tinggi (cumlaude), dia harus gagal dalam mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) karena kehadirannya sangat tidak mencukupi. Ditambah lagi, ia gagal mendaftar Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM). Teman-temannya merasa sangat sedih setelah mengetahui dua hal tersebut, namun ia tetap tegar seolah-olah itu bukan masalah besar baginya.

            Semakin hari gairah hidup Gibran semakin berkurang, ia sering menghabiskan waktu dengan membolak-balikkan halaman buku ditemani secangkir kopi dan rokok. Rutinitas kesehariannya berlalu tak tentu arah, ia tidak pernah lagi melihat jadwal kegiatannya. Gibran hanya ingat bahwa dia harus mengajar di waktu pagi, sore, dan malam hari. Adapun selebihnya, seolah-olah terhapus permanent dari ingatannya.

            Hari-harinya berlalu dengan hati yang gelisah, ia takut kedua orang tuanya akan sangat sedih ketika mengetahui dua kegagalan yang menimpa putra semata wayang mereka. Ia merasa sangat kebingungan memikirkan bagaimana ia menjelaskan kegagalan tersebut kepada orang tuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak memberitahu mereka tentang kegagalannya, ia menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan hal tersebut kepada mereka.

            Di tengah-tengah kegelisahan tersebut, Gibran berfikir bahwa, bukankah semua kegagalan dan permasalahan ini bagaikan tanaman mawar berduri yang harus disiram dan dirawat agar nantinya bisa merekah menghiasi dan mengharumi taman dengan keindahan dan keharumannya? Bukankah semua orang mengatakan demikian? Setelah merenungi analogi tersebut, hatinya mulai tenang dan ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Hari-harinya kembali berlalu seperti biasanya, ia mengajar dengan tenang seperti biasanya. Di waktu luang, ia kembali bisa berbincang bersama teman-temannya tanpa terganggu dengan beban dan masalah yang sedang dipikulnya.

            Setiap kali ia bosan dengan rutinitas sehari-harinya yang monoton, ia beranjak ke kamar dan membaca beberapa buku sastra untuk menghilangkan kebosanannya. Ia membaca buku al-Mu'allaqat as-Sab'a yang memuat sya'ir-sya'ir fenomenal dari sastrawan Arab klasik. Halaman demi halaman ia baca dengan teliti dan penuh penghayatan hingga bacaannya mulai memasuki sya'ir-sya'ir Umrul Qais (lebih dikenal dengan Majnun dalam kisah Layla dan Majnun). Baru beberapa bait (baris) ia membaca sya'ir Umrul Qais, ia langsung teringat dengan akhir kisah penyair tersebut, seorang pujangga yang telah menuturkan sya'ir-sya'ir cinta dengan segala keindahannya, namun hidupnya harus berakhir dengan tangisan untuk kekasih yang tak kunjung ia miliki di dunia ini.

            Hatinya sangat terenyuh memikirkan penyair tersebut. Bagaimana tidak, seluruh kehidupan pujangga tersebut sudah dikorbankan untuk satu perempuan yang sangat dicintainya, namun sang takdir tetap tak merestui hubungan keduanya hingga ajal menjemput.

            Hatinya kembali seperti dulu, ia menganggap masa dewasa adalah masa yang penuh dengan berbagai macam masalah dan penuh dengan duka bisu yang jatuh ke dalam hati dan tak dapat mencari jalan keluar, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sekalipun tak dapat menyelesaikan dan menghilangkan masalah serta duka bisu tersebut. Sepanjang hari, logikanya mencoba untuk melawan hatinya, logikanya berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa hidup akan berjalan sebagaimana mestinya.

            Walaupun logika sudah mencoba untuk melawan kata hatinya, namun hati tetap pada pendiriannya. Setiap kali Gibran memejamkan matanya, yang terlihat hanyalah permasalahan dan beban yang sedang dipikulnya, kegelisahan hati benar-benar sudah mengalahkan logikanya. "Bukankah salah satu penulis buku kesukaanku Khalil Gibran harus tutup usia dengan penuh penderitaan karna perempuan yang ia cintai tak bisa dimiliki. Betapa malangnya perempuan tersebut, ia harus meninggal sebagai seorang istri yang penuh dengan derita disebabkan ulah suami yang diberikan takdir kepadanya", tutur Gibran dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline