Lihat ke Halaman Asli

Sampah Serapah

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya kota ini semakin padat, Sejalur umur yang kian menua, Kening ini mengerut banjir keringat, Waktu pun habis tanpa kata sua.

Wahai kota metropolitanku, Mengapa wajahmu? Kulihat guratan berlenggang ceria, Rupa urbanisasi dan pemain topeng bersuka ria.

Pencakar langit yang saling berangan, Para pengais yang menertawakan sesuap nasi, Merangkak demi keberuntungan, Sungguh mengagungkan harga mati.

Apakah masih ada warteg yang diidolakan? Apakah kehendakmu wahai metropolitan? Apakah memiliki kekuatan tak terbatas? Apakah itu penuturan puberitas?

Apakah kau pernah membayangkan, Sarapan pagi yang berkristal kemacetan, Jiwa layaknya susu perah, Rasanya piama itu berganti dasi dan kerah.

Apakah memang ini syarat sebuah metropolis? Apakah pilihan itu menjadi minimalis? Apakah memang sudah terkikis? Rasanya senyumku tipis. (Rizki Ramadhani/"Ms Melody Canvas")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline